Halaman

Selasa, 24 Mei 2011

ISLAM DAN POLITIK

Oleh Cahye Negare


Masalah politik atau pemerintahaan Islam banyak ditemukan di dalam sumber Islam misalnya dalam konteks mentaati pemimpin apakah dalam level kecil sampai pada level Negara, salah satunya ayat al-Qur�an menggambarkan:
Wahai orang-orang beriman taatilah Allâh dan taatilah Rasûl dan pemimpin di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allâh dan Rasûl kalau kalian benar-benar beriman kepada kedua-Nya dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama bagi kalian (Q.S. al-Nisa� : 59).

Ayat ini selain menjelaskan tentang perlunya mentaati Allah, Rasul dan para pemimpin, juga apabila terjadi perbedaan pendapat dan tidak menemu-kan titik temu, maka jalan keluarnya dikembalikan atau bertawakkal kepada-Nya, ini merupakan tanda orang yang beriman.
Kemudian dalam kaitan dengan memecahkan suatu masalah Nabî melakukannya melalui mekanisme musyawarah, hal ini sebagai salah satu penerapan ajaran demokrasi di masa modern. Nabî dalam mengambil berbagai keputusan sering melibatkan para Shahâbatnya, dan juga dalam tindak tanduk kehidupannya banyak menggambarkan proses demokrasi. Sebagai contoh dari perilaku musyawarah ayat al-Qur�an mengambarkan yaitu: Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (Q.S.al-Syura: 38). Kemudian dalam bermusya-warah ada cara yang baik untuk melakukannya, seperti ayat yang artinya berikut ini:
Maka karena rahmat Allâhlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlan mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S. al-Imran: 38).

Ayat-ayat di atas menjelaskan, pertama, dalam kehidupan manusia di dunia ini diperlukan seorang pemimpin sehingga dapat memberi arah kehidupan manusia. Kedua, dalam kehidupan manusia diperlukan aturan atau norma yang mengatur kehidupan mereka. Ketiga, dalam menyelesaikan suatu masalah dilakukan dengan kepala dingin bukan dengan cara pemaksaan kehendak. Keempat, menyelesaikan masalah melalui mekanisme yang disebut dengan musyawarah. Kelima, apabila tidak ditemukan jalan keluarnya dikembalikan kepada Allâh dengan cara bertawakkal. Keenam, bahwa setiap keputusan yang telah diambil sesuai dengan hakikat manusia yang membuatnya pasti mengan-dung kelemahan, untuk itu diperlukan tawakkal kepada-Nya.
Dalam al-Quran ditemukan pula kata khilâfah yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya, seperti Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun: Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku, Istilah khilâfah adalah sebutan untuk pemerintahan khalîfah. Kata khilâfah analog dengan kata imâmah yang berarti keimaman, kepemimpinan, pemerintahan dan dengan kata imârah yang berarti keamiran, dan pemerintahan.
Kata khilâfah yang berakar kata khalafa mengalami perkembangan arti dari arti asli ke arti pemerintahan. Khilâfah menurut Ibnu Khaldun adalah tanggungjawab yang dikehendaki oleh peraturan syari�at untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akherat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akherat adalah tujuan akhir maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syari�at. Dari definisi itu memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara agama dan negara, yakni saling memerlukan dalam perkembangan masing-masing. Ini menggambarkan pula walaupun antara memelihara agama dan mengatur dunia merupakan dua bidang kegiatan yang berbeda, namun antara urusan agama dan urusan negara atau politik tidak dapat dipisahkan. Kemudian, ditemukan istilah Khalîfah, imâma dan amîr. Khalîfah orang yang melaksanakan fungsi kekhalifahan, keimaman dan keamiran dalam sejarah Islam disebut Khalîfah, imâma dan amîr.
Selain itu ditemukan pula istilah ahl al-hallî wa al-�aqdi. Istilah ini diartikan dengan orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Ulama fiqh mengartikannya yaitu orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nuraninya. Tugasnya antara lain memilih khalîfah, imâm atau kepala negara secara langsung. Karena itu istilah itu diartikan oleh al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyâr (golongan yang berhak memilih).
Paradigma pemikiran ulama fiqh merumuskan istilah ini didasarkan pada sistem pemilihan Empat Khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh Shahâbat yang mewakili dua golongan, yaitu Anshâr dan Muhâjirîn. Mereka di klaim sebagai ahl al-hallî wa al-�aqd yang bertindak sebagai wakil umat. Walaupun sesungguhnya pemilihan itu bersifat spontan atas dasar tanggungja-wab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ahl al-hallî wa al-�aqd merupakan suatu lembaga pemilih. Orang-orangnya berkedudukan sebagai wakil rakyat dan salah satu tugasnya memilih khalîfah atau kepala negara; dan dari segi fungsinya sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Hal ini dalam praktiknya telah dilakukan oleh Rasûlullâh dan juga oleh Khulafa Râsyidîn. Rasûlullâh adalah seorang kepala negara/pemerintahan, ia memerintah seluruh umat di Madinah yang terdiri dari umat Islam, kaum Nasrani dan suku-suku lain yang berbeda keyakinan. Sebagai Kepala pemerin-tahan dia memerintahkan umatnya membela diri dari tindakan orang-orang Quraisy melalui cara perang; dalam mengatasi perselisihan dia menjadi pemutus atau hakim bagi umat secara umum pada waktu itu. Sebagai Nabî dia menerima wahyu dan memimpin masalah ritual umat pada masa hidupnya. Kemudian setelah Rasûlullâh wafat dilanjutkan oleh Khalîfah Empat. Itulah gambaran bahwa mereka menyandang dua fungsi itu.
Dalam diskursus posisi Islam terhadap negara, ilmuan Islam berbeda pandangan. Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Ridla, Maulana dan al-Maududi menyatakan: bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem kenegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Kemudian sistem kenegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabî Muhammad dan oleh Khulafah Râsyidîn.
Pendapat kedua, adalah pendapat Abdul Raziq dan Thaha Husen berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut pandangan ini Nabî Muhammad hanyalah seorang Rasûl biasa seperti halnya Rasûl-rasûl sebelumnya dengan tugas dan fungsi mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti dan Nabî tidak pernah bermaksud mendirikan dan mengepalai satu negara.
Pandangan ketiga pendapat Mohammad Husen Haikal, menolak pendapat Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan meliputi terhadap sistem ketatanegaraan. Tetapi ia berpandangan bahwa Islam tidak sama dalam pandangan Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Maha Pencipta. Ia berpandangan bahwa Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tatanilai etika bagi kehidupan bernegara.
Dalam kaitan dengan partai politik, ada pula yang menunjuk pengalaman perbedaan pandangan yang ada di dalam Islam. Misalnya muncul kelompok-kelompok dalam Islam seperti kelompok Murji�ah, Khawârij, Mu�tazilah. Kelompok-kelompok ini tentu saja bukan hanya ingin menguasai mainstream pemikiran teologis, tetapi juga ingin menguasai pemerintahan yang ada. Ini dapat dikatakan embrio partai politik.
Secara teoritis hal-hal tertentu ada gambaran dalam ajaran atau sejarah Islam. Tetapi dalam kenyataannya pemikiran politik dalam prespektif Islam dalam kaitan mekanisme dan prosedur mengalami nasib yang sama dalam bidang ekonomi. Pemikiran apakah ada negara Islam atau tidak di dalam al-Qur�an dan al-Sunnah serta petunjuk Rasûl terbatas substansinya, bagaimana mekanisme dan prosedurnya mengalami stagnasi pemikiran.
Perilaku politik bernegara akhirnya memunculkan keanekaragaman, misalnya Saudi Arabia berbentuk kerajaan dan tidak memilki partai politik, Malaysia juga berbentuk kerajaan tetapi memiliki partai politik juga Brunei Darussalam berbentuk kerajaan tetapi tidak punya partai politik. Dalam konteks demokrasi mekanisme dan prosedur baru berkembang mengikuti konsep yang telah berjalan di Barat, bahwa dalam suatu negara memilih kepala negara atau perwakilannya melalui proses pemilu atau memilih kepala negara yang dipilih langsung oleh rakyat.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia dalam konteks masalah dasar negara ditemukan adanya perbedaan, ketika merumuskan tentang ideologi negara Indonesia. Tokoh-tokoh Islam yang ada di dalam partai Islam dekade awal-awal kemerdekaan dan kemudian ketika sidang parlemen hasil pemilu tahun 1955 dan juga sekitar tahun 1970-an sebelum Asastunggal diberlakukan, berpandangan bahwa Islam wajib menjadi dasar negara, dan menerapkan syari�at Islam sebagai sumber hukumnya, karena umat Islam telah berperan dalam mengantar negara menuju kemerdekaan dan jumlahnya mayoritas di negeri ini. Sementara kelompok yang lain misalnya Soekarno dan tokoh-tokoh nasionalis lain berpendapat tidak harus demikian, karena penduduk Indonesia terdiri dari banyak keyakinan.
Sebenarnya masalah ideologi ini adalah salah satu saja dari instrumen adanya suatu negara. Dari pengalaman negara-negara yang sudah maju dalam kesepakatan tentang ideologi negaranya dengan segera dapat diselesaikan, masyarakatnya mengalami kesejahteraan. Berbeda dengan Indonesia, hampir sepanjang kemerdekaan ideologi negaranya dipersoalkan, seolah hal itu satu-satu cara untuk membentuk negara yang baik dan dapat menciptakan kesejahteraan rakyat.
Konteks Indonesia, memang ideologi negara bukan saja diperebutkan umat Islam tetapi juga oleh kaum komunis dan liberalis. Ideologi negara yang bersifat liberalisme berkembang di negara-negara Barat dan Amerika. Ideologi liberalisme ini memiliki prinsip-prinsip adanya kebebasan dalam beragama, berbicara dan berpendapat, negara tidak merujuk kepada keyakinan agama tertentu. Rakyat memiliki kedaulatan sepenuhnya dalam memilih pemimpin dan menentukan kebijakan melalui para wakilnya.
Berbeda dengan pandangan ini adalah negara yang berideologi komunisme. Negara ini sepenuhnya diatur oleh negara, negara memiliki otoritas tunggal yang kebijakannya dirumuskan oleh sebuah lembaga. Negara ini bukan saja menentukan kebijakan, tetapi negara memiliki otoritas melarang rakyat-nya tidak boleh memiliki keyakinan suatu agama, seperti yang berlangsung di Negara Republik Rakyat Cina (RRC) dan Rusia.
Sementara itu, di sisi lain ada pandangan negara yang berideologi Islam dan penentuan berbagai kebijakan diukur apakah ada atau tidak ada penyim-pangan dari syari�ah Islam. Pemerintahannya dipimpin oleh seorang Muslim. Dalam menentukan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat bervariasi ada yang ditentukan oleh suatu dewan, ada pula yang ditentukan oleh orang-orang terpilih. Dalam memilih presiden, wakil rakyat yang memilihnya seperti yang terjadi di Iran, ada pula kepala negara tidak ditentukan oleh dewan tetapi berdasarkan keturunan seperti Saudi Arabia, ada pula seperti yang terjadi di Malaysia pemimpin negara dipilih oleh partai yang memenangkan pemilu. Dalam Islam, hal itu, sepanjang pemahaman nash memang telah terjadi perbedaan pandangan. Hal itu sebagai konsekuensi dari penafsiran yang dipahami dari nash baik dari al-Qur�an dan al-Sunnah yang tentu bersifat relatif tingkat kebenarannya. Oleh karena itu yang sangat penting bukan bentuk pemerintahan tetapi bagaimana suatu pemerintahan dapat menciptakan rakyatnya yang berkeadilan dan berkesejahteraan.
Ideologi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sangat menarik untuk dikaji, dimana perkembangan umat Islam dalam melaksanakan ajaran yang diyakininya diakomadasi oleh negara, dan kebijakan negara melalui undang-undang dapat mengatur kehidupan orang muslim. Melalui ideologi negara seperti ini terbuka peluang bagi umat Islam memperjuangkan aspirasi-nya melalui lembaga perwakilan.
Melalui ideologi Pancasila umat Islam Indonesia secara optimal dapat mendayagunakan potensi akal yang dimilikinya untuk mengembangkan sistem bernegara. Melalui corak ideologi seperti ini umat Islam lebih maju dalam berdemokrasi. Kemajuan dalam berdemokrasi sebenarnya telah dimulai oleh bangsa Indonesia termasuk umat Islam pada tahun 1955 yang menyelengga-rakan Pemilu dengan bebas, jujur dan adil. Hanya saja setelah itu Indonesia mengalami stagnasi dalam berdemokrasi karena Pemilu yang diselenggarakan pemerintah Orde Baru masih mengebiri hak-hak asasi seseorang dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan hati nuraninya. Ini terjadi disebabkan paling tidak oleh dua hal, pertama, adanya trauma yang dialami sejarah masa-masa sebelumnya dimana politik dijadikan �penglima� sehingga melupakan hal yang lain yang juga diperlukan oleh rakyat seperti masalah mensejahterakan mereka dan membangun berbagai infrastruktur yang diperlukan dalam membangun negara. Kedua, umat Islam masih dipandang memiliki semangat ideologis mendirikan negara Islam sebagaimana yang tergambar dari cita-cita partainya. Kondisi seperti inilah yang mendorong tersendatnya proses demokra-si yang sesungguhnya di tanah air.
Bila saja masalah ideologi negara segera ditemukan kesepakatan seperti kesepakatan the founding father, maka negara ini sejak awal telah mengalami stabilitas, civil society akan terbentuk, dan kehadiran militer hanya mengurus masalah pertahanan negara saja. Demokrasi negara ini akan tercipta demokrasi yang sesungguhnya seperti yang terjadi pada pilihan presiden langsung oleh rakyat (pilres I dan II) pasca reformasi. Kemudian kemajuan bangsa ini dapat diraih sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju sekarang.
Berbagai corak ideologi negara ini hanya sebagai satu wahana untuk mencapai ketenangan, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dalam Islam hal itu dapat diformulasikan dalam ungkapan : baldatun thayyibatun warabbun ghafûr. Itulah salah satu ukuran apakah corak pilihan yang tepat suatu negara dalam memilih ideologi sejauh ia dapat membuktikan apakah negara itu berhasil paling tidak mencapai tiga hal itu.
Dari berbagai gambaran di atas dapat dikatakan bahwa konsep Negara menurut ajaran Islam tidak tunggal baik menurut kalangan ahli maupun dalam prakteknya. Oleh karena itu bila ada sebagian dari umat Islam yang ingin membentuk Negara Islam baik melalui sikap yang jelas maupun melalui gerakan di bawah tanah perlu diluruskan. Cita-cita ini dalam Negara demokrasi sah saja diperjuangkan tetapi pengalaman selama beberapa decade cukuplah menjadi pelajaran di mana umat banyak menguras enegrinya sementara persoalan actual yang dihadapi umat seperti rendahnya kualitas pendidikan dan kemiskinan masih berkuat di negeri ini. Ke depan umat harusnya lebih berfikir untuk hal-hal yang bersifat substansial guna memecahkan berbagai persoalan di tengah masyarakat. Persoalan maraknya narkoba di tengah generasi muda serta lunturnya moralitas generasi muda di tengah bangsa ini tidak dapat ditunda lagi umat harus ikut mengatasi hal tersebut.



Bagikan