Halaman

Selasa, 24 Mei 2011

ISLAM DAN EKONOMI

Oleh cahye Negare

Kegiatan ekonomi telah berlangsung sepanjang kehidupan umat manusia di dunia, dari semua aktivitasnya manusia tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan ekonomi karena melalui hal ini manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dengan melalui kegiatan ekonomi manusia dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Begitu penting kegiatan ekonomi atau mencari rezeqi ini sehingga Tuhan mengisyaratkan hal itu melalui kitab sucinya yaitu: Sesungguhnya Aku (Allâh) telah memuliakan keturunan Adam (manusia), Aku angkut mereka di daratan dan di lautan, Aku beri mereka rezeqi dari yang baik-baik, dan Aku lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Aku ciptakan (QS. al-Isra�, 17: 7). Kemudian dalam ayat yang lain menyatakan yang artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah karunia Allâh (yakni rezeqi/harta) dan ingatlah kepada Allâh banyak-banyak agar kamu beruntung (Q.S. al-Jumu�ah: 10).
Ayat-ayat itu dapat dimaknai, pertama, bahwa mencari rezeqi merupakan perintah Allâh dalam kehidupan manusia di dunia. Kedua, mencari rezeqi sama pentingnya dengan ajaran perintah shalat, dimana manusia selesai menunaikan shalat bersegera mencari rezeqi di muka bumi. Waktu mencari rezeqi lebih banyak diberikan dibandingkan dengan waktu yang diberikan untuk shalat. Waktu shalat terutama shalat wajib dikerjakan selama 7 sampai 10 menit untuk setiap shalatnya, jangka waktu itu cukup untuk mengerjakan shalat dengan Khusu� (thumakninah). Bila waktu shalat dikerjakan selama 7 sampai 10 menit berarti mengerjakan shalat lima waktu hanya dikerjakan selama 50 menit, hitungan waktu yang hanya sedikit dibandingkan kehidupan manusia selama sehari semalam yang lamanya 24 jam. Sementara waktu yang diperuntukan untuk mencari razeqi setelah di kurangi waktu tidur berarti selama kurang lebih 13 jam.
Ketiga, Adanya perintah dalam ayat itu menunjukkan bahwa rezeqi diperoleh tidak dengan cara berdiam diri di rumah atau hanya berdo�a tanpa adanya upaya yang keras (ikhtiyar), namun harus dilakukan dengan kerja keras. Adanya ungkapan bertebaran memberi petunjuk kepada upaya ikhtiyar itu dan juga memberi petunjuk bahwa kekayaan tidak hanya terbatas pada jenis-jenis tertentu namun sangat luas, umum dan berkembang sesuai dengan kemampuan yang telah ditekuni, dan dapat pula diambil pengertiannya bahwa dalam mencari rezeqi Allâh jangan melupakan Allâh serta melalui cara-cara yang dibenarkan.
Kegiatan manusia dalam berekonomi didorong oleh naluri manusia yang diberikan Allâh memiliki kecintaan terhadap harta dan perhiasan, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur�an yang artinya: Allâh telah menjadikan naluri manusia kecintaan kepada lawan seksnya, anak-anak, serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda piaraan, binatang ternak, sawah dan ladang (Q.S.al-Imran, 14).
Dalam kaitan dengan harta, al-Qur�an menyebutnya khair, dalam surat al-Baqarah 180, yang arti harfiyahnya kebaikan, ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, tetapi juga mengisyaratkan bahwa perolehannya dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan selalu mengalami konflik sesamanya dalam hidupnya. Karena uang atau harta sering menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang al-Qur�an dan Hadis memperingat-kan agar manusia tidak tergiur oleh gemerlapnya uang atau diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang lupa akan fungsinya sebagai hamba Allâh dan khalîfah di bumi.
Selain ayat-ayat diatas, ada pula ajaran Islam yang berkaitan dengan zakat, infak dan sadaqah, hal itu mengisyaratkan seseorang memiliki harta yang melebihi dari kebutuhan primernya untuk dikeluarkan. Dengan kata lain infaq, sadaqah dan zakat baru terwujud dengan kekayaan dan kekayaan bisa diperoleh dengan cara kerja keras dan dengan skill yang dimiliki.
Dalam al-Qur�an lebih jauh menjelaskan tentang uang atau mâl dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi yang di dalam al-Qur�an disebut sebanyak 25 kali dalam bentuk tunggal dan amwâl dalam bentuk jamak sebanyak 61 kali. Kata tersebut mempunyai dua bentuk, pertama tidak dinisbatkan kepada pemilik dalam arti dia berdiri sendiri. Ini menurutnya adalah sesuatu yang logis karena memang ada harta yang tidak menjadi obyek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu. Kedua, dinisbatkan kepada sesuatu seperti harta mereka, harta anak yatim, harta kamu dan lain-lain, ini adalah harta yang menjadi obyek kegiatan dan bentuk inilah terbanyak digunakan al-Qur�an. Uang diartikan sebagai harta kekayaan dan nilai tukar bagi sesuatu. Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif.
Manusia diperintah Allâh untuk mencari rezeqi bukan hanya untuk mencukupi kebutuhannya tetapi al-Qur�an memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkan (fadl) Allâh yang secara harfiyah berarti kelebihan yang bersumber dari Allâh. Salah satu ayat yang mendukung itu terdapat dalam surat al-Jumu�ah, ayat 10 tersebut di atas. Kelebihan itu dimaksudkan antara lain agar yang memperolehnya dapat melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan/ bantuan kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
Uang dalam pandangan al-Qur�an merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting tetapi bukan yang terpenting. Manusia menduduki tempat di atas modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala-galanya sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.
Modal dalam kegiatan ekonomi sangat penting dan tidak boleh diabaikan manusia. Ia berkewajiban menggunakannya dengan baik agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang walî yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada di dalam kekuasaannya dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal. Ini dipahami dari redaksi ayat al-Qur�an (al-Nisa� : 5), dimana dinyatakan wardzukûhum fîhâ bukan wardzukûhum minhâ. Minhâ artinya dari modal sedang fîhâ berarti di dalam modal yang dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari usaha.
Oleh karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang dalam bentuk riba dan perjudian dilarang oleh al-Qur�an. Salah satu hikmah pelarangan riba serta pengenaan zakat sebesar 2.5 persen terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana serta sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan seperti pada surat al-Taubah ayat 34, dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allâh maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih.
Dalam kaitan harta dan uang dinilai sebagai qiyâman, yaitu sarana pokok kehidupan (Q.S.al-Nisa�:5). Tidak heran Islam memerintahkan untuk mengguna-kan uang pada tempatnya dan secara baik serta tidak memboroskannya. Bahkan memerintahkan untuk menjaga dan memelihara, sampai-sampai al-Qur�an melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros atau tidak dapat mengurus harta secara baik. Dalam konteks ini al-Qur�an berpesan kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang ( Q.S.al-Nisa�: 5), janganlah kamu memberi orang-orang yang lemah kemampuan (dalam pengurusan harta) harta (mereka yang ada ditangan kamu dan yang dijadikan Allah untuk semua sebagai sarana pokok kehidupan.
Selain perintah untuk mencari rezeqi itu memang ada etika dalam mencarinya, seperti yang diisyaratkan Allâh bahwa hendaklah kaum Muslimin jangan memakan harta sesamanya dengan jalan batil�(QS. al-Nisa�, 29), dan kaum Muslimin diminta agar selalu ingat kepada Allâh dan juga merasa selalu dikontrol Allâh. Ini merupakan ajaran etika ekonomi/bisnis. Etika ini tidak untuk membatasi seseorang dalam mencari rezeqi, tetapi dalam mencarinya perlu ada norma-norma yang dapat memuaskan semua orang tanpa merasa dirinya diperlakukan secara tidak adil. Adanya etika dalam perdagangan menunjukkan bahwa ekonomi Islam berprinsip keadilan dan memiliki sisi transcendent.
Umat Islam di tanah air tidak bisa menangkap semangat itu sehingga sampai sekarang ini umat Islam tidak menguasai bidang ekonomi di negaranya sendiri. Ke depan sebagian kecil dari umat Islam harus menguasai ilmu ekonomi serta menguasai lembaga-lembaga pembuat kebijakan ekonomi nasional. Jangan lagi terulang ekonomi Negara ini diatur oleh mereka yang hanya memikirkan diri sendiri karena memberi peluang kepada orang asing mengatur bagaimana format ekonomi Negara ini. Akibat dari kesalahan ini bangsa Indonesia yang mempunyai potensi ekonomi yang besar tetapi tidak mampu memsejahterakan rakyatnya karena ekonomi diatur oleh lembaga-lembaga donor seperti IMF dan hanya menguntungkan segelintir orang menikmati kerjasama itu dengan pihak asing. Meskipun saat ini IMF sudah barang haram bagi negeri ini dalam pembangunannya tetapi masih perlu diwaspadai kemungkinan-kemungkinan penjajahan dalam bentuk lain.
Demikian banyak ayat atau perintah bagi umat untuk memperhatikan soal ekonomi. Hanya saja perintah yang memberikan dorongan bagi umat untuk mencari kekayaan sering dihadapkan dengan pemahaman umat terhadap istilah-istilah sabar, qana�ah, tawakkal dan zuhud yang dipahami secara keliru. Sabar dianggap sebagai sifat yang tidak cepat-cepat atau dalam istilah jawa alon-alon asal kelakon. Padahal seharusnya dipahami sebagai sikap tangguh, pantang menyerah, teliti dan tidak mudah putus asa. Qana�ah dipahami sebagai sikap menyerah menerima apa adanya; seharusnya dipahami sebagai sikap yang jujur untuk menerima hasil sesuai dengan kinerjanya, tidak menuntut hasil yang lebih dengan kerja kecil, tidak iri terhadap keberhasilan orang lain. Tawakkal menyerahkan diri sepenuhnya kepada keadaan atau kepada Tuhan tanpa perlu berusaha secara maksimal untuk memperoleh sesuatu. Seharusnya dipahami sebagai suatu sikap akhir setelah melakukan kerja keras yang dibarengi dengan do�a. Zuhud suatu sikap yang menjauhi hidup ke duniaan. Padahal, kita tahu dari sejarah bahwa Imam Ghazali adalah orang yang kaya atau berharta, yang umumnya diketahui ia seorang yang miskin. Zuhud seharusnya diberikan pengertian menjauhi hal-hal yang menyebabkan sese-orang jauh dari Allâh, bukan dipahami menjauhi kehidupan dunia.
Hal yang lain yang menyebabkan umat Islam tidak memiliki etos kekayaan adalah adanya pemahaman terhadap hadist Nabî yang menyebut bahwa dunia ini adalah surga bagi orang kafir dan akherat adalah surga bagi orang Muslim. Kemudian hadits lain yang juga sering disalahpahami adalah bahwa, ya Allâh hidupkanlah saya miskin matikanlah saya miskin dan bangkitkanlah saya bersama orang miskin. Hadits ini lebih tepat dipahami bahwa Nabî mohon dijauhkan dari sikap sombong. Karena dalam hadist lain disabdakan bahwa Nabî memohon kepada Allâh agar ia terlepas dari fitnah akibat kemiskinan, hadits ini shahîh yang diriwayatkan oleh Buchari dan Muslim. Kenyataan lain menunjukkan bahwa Nabî sendiri orang kaya, ia memiliki kuda yang mahal pada masanya dan Nabî dalam kesehariannya makan kurma ajwah yang harganya lebih mahal dari kurma biasa. Juga Nabî ketika meminang Khadijah sebagai istrinya dengan 20 onta yang tentu kalau diuangkan mencapai ujumlah yang sangat banyak, ini menandakan Nabî seorang yang mampu.
Kemudian, umat Islam termasuk organisasi-organisasi Islam hanya terkonsentrasi dalam bidang politik tetapi melupakan ekonomi untuk kesejahteraan umat. Lalu, para da�i Islam di masjid atau di berbagai forum tidak memberi pencerahan bahwa menguasai ekonomi dalam kehidupan di dunia ini pentignya pula bagi umat Islam; tetapi mereka hanya lebih menekakankan pentingnya kehidupan akherat kelak. Elit umat Islam belum memiliki keahlian dalam bidang ekonomi baik pada tingkat keilmuan maupun aplikasinya.
Inilah beberapa faktor yang dapat dikatakan menyebabkan umat Islam dalam kehidupan ekonominya tertinggal sementara umat lain memperoleh kemakmuran dalam kehidupan dan menguasai bidang perdagangan di tanah air. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi umat Islam harus kerja dan menata diri untuk membenahi perekonomian bangsa.



Bagikan