Kejayaan Sriwijaya di Palembang
Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang
JAKARTA- Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan terbesar di Indonesia setelah Majapahit. Palembang, dahulu merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum pindah ke Jambi.
Bukit Siguntang, di bagian barat Kota Palembang, hingga sekarang masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat suci di masa lalu.
Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan ini merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang.
Prasasti ini menyebutkan pendirian sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibu kota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 682 Maseh. Dari situ kemudian tanggal tersebut dijadikan dasar hari lahir Kota Palembang.
Kota penghasil pempek sampai saat ini menjadi pusat wisata air dengan julukan berjuluk ‘Venice of the East’. Berikut beberapa objek wisata yang dapat Anda kunjungi di Palembang adalah berikut ini.
Benteng Kuto Besak
Fakta menarik tentang museum ini adalah menghabiskan waktu selama 17 tahun untuk membangunnya, dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pada 21 Februari 1797. Ide pembangunan benteng ini dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Benteng ini memiliki panjang 288,75 m, lebar 183,75 m, tinggi 9,99 m dan tebal 1,99 m. Terdapat pintu masuk di setiap sudut benteng ini, sisi masuk sebelah barat laut berbeda dengan ketiga sisi lainnya. Ketiga pintu masuk yang sama mereprentasikan karakteristik Benteng Kuto Besak.
Anda dapat melihat Sungai Musi dari pintu masuk utama, Lawang Kuto. Sedangkan pintu masuk di belakang pintu disebut lawang Buritan. Benteng ini ialah kebanggaan masyarakat Palembang karena merupakan benteng terbesar dan satu-satunya yang terbuat dari batu sebagai saksi keberhasilan mereka melawan bangsa Eropa.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin
Museum ini dulunya merupakan Benteng Kuto Lama dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) menjadikannya istana kesultanan.Tahun 1821, istana ini diserang Kolonial Belanda dan pada 17 Oktober 1823 dihancurkan dibawah Komisaris Belanda, I.L Van Seven House sebagai balas dendam terhadap sultan yang membakar Aur rive Loji. Museum ini dibangun kembali tahun 1825 dan menjadi kantor perwakilan pemerintahan pendudukan Belanda. Tahun 1942-1945 saat ekspansi Jepang, bangunan ini dikuasai oleh tentara Jepang dan diserahkan kepada masyarakat Palembang setelah kemerdekaan Indonesia 1945.
Pada tahun 1949, Museum Sultan Mahmud Badaruddin direnovasi dan beralih fungsi sebagai Toritorium Sriwijaya II dan digunakan sebagai satuan pasukan tentara utama Sriwijaya IV. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim Arkeologi Nasional tahun 1988, fondasi batu bata Kuto Lama ditemukan di bawah kayu yang sudah hancur.
Kantor Menara Air
Bangunan ini didirikan tahun 1982 dan sebelumnya digunakan sebagai kantor Syuco pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 kemudian digunakan sebagai balai kota hingga 1956. Bangunan ini menyediakan persediaan air untuk kantor umum. Tahun 1963 Kantor Menara Air berubah menjadi Kantor Pusat Pemerintahan Palembang.
Jembatan Ampera
Dibangun di atas Sungai Musi, jembatan ini memiliki panjang 1.777 m, lebar 22 m, dan tinggi 11,50 m dengan bantuan dana Pemerintahan Jepang masa perintahan Soekarno. Dibangun sejak April 1962 dan selesai tahun 1964. Sebelumnya dinamai Jembatan Musi lalu berubah menjadi Jembatan Ampera. Kata AMPERA singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Sebelum tahun 1970, bagian utama Jembatan Ampera dapat dinaiki dan dilewati kapal besar dengan ketinggian maksimum 44,50 m. Saat ini, untuk alasan pemeliharaan kapal tidak diizinkan menyebrang jembatan ini.
Rumah Tradisional Limas
Dibangun di sepanjang tepi sungai dan menghadap ke air, hal ini menunjukan bahwa kegiatan rumah tangga sehari-hari dilakukan di sini. Rumah-rumah kayu yang dihiasi biasanya lebarnya 15-20 m, bingkai jendela sampai panel ventilasi diukir dengan detail.