Kompleks
pemakaman kuno Ki Gede Ing Suro masuk dalam wilayah administratif
Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan IT II Paembang. Di kompleks makam ini
terdapat delapan bangunan dengan jumlah keseluruhan 38 makam.
Kompleks pemakaman ini dibangun pertengahan abad ke-16. Ki Gede Ing
Suro merupakan pendiri kerajaan Islam Palembang, Yang kemudian
menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Ki Gede Ing Suro adalah
putra Ki Gede Ing Lautan, salah satu dari 24 bangsawan dari Demak
yang menyingkir ke Palembang, setelah terjadi kekacauan di kerajaan
Islam terbesar di pulau jawa itu. Kekisruhan ini merupakan rangkaian
panjang dari sejarah kerajaan terbesar di nusantara, setelah kerajaan
Sriwijaya, yaitu Kerajaan Majapahit.
Raden
Fatah yang lahir di Palembang adalah putra Raja Majapahit terakhir,
yaitu Brawijaya V. Raden Fatah lahir dari Putri China yang disebut
Putri Champa, setelah istri Brawijaya itu dikirim ke Palembang dan
diberikan kepada putra Brawijaya, Ariodamar atau Ario Abdillah atau
Ario Dillah. Setelah dewasa Raden Fatah bersama Raden Kusen, Putra
Ario Dillah dengan Putri China di kirim kembali ke Majapahit. Oleh
Braeijaya V, Raden Fatah diperintahkan untuk menetap di Demak atau
Bintaro sedangkan adiknya lain Bapak, Raden Kusen, diangkat sebagai
Adipati di Terung.
Pada
masa menjelang akhir abad XV ini, Islam di Pulau Jawa mulai kuat.
Saat terjadi penyerbuan oleh orang Islam terhadap Majapahit, prajurit
kerajaan Hindu itu kalah dan Raja Brawijaya V menyingkir hingga
kemudian mangkat. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan majapahit.
Setelah keruntuhan Majapahit, Sunan Ngampel Denta (wali tertua dalam
Walisongo) menetapkan Raden Fatah sebagai Raja Jawa menggantikan
ayahnya. Tentu saja dengna pemerintahan Islam.
Raden
Fatah, dibantu para wali, kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari
Surabaya ke Demak sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah ini.
Atas bantuan penguasa dan rakyat di daerah yang sudah lepas dari
Majapahit, antara lain Tuban, Gresik, Jepara, Raden Fatah mendirikan
Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1481M. Dia menjadi raja pertama
dengan gelar Jimbun Ngadur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata
Agama. Raden Fatah yang wafat sekitar tahun 1518M digantikan
putranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521M.
Pengganti
Pati Unus adalah Pangeran Trenggono (wafat tahun 1546M). Wafatnya
Sultan ketiga Demak ini merupakan awal dari kisruh berkepangjangan di
kerajaan Islam yang sempat punya pengaruh besar di Nusantara itu.
Tahta kerajaan menjadi rebutan anara saudara Trenggano dengan
putranya. Saudaranya yang dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lepen
dibunuh putra Trenggono, Pangeran Prawata. Prahara berlanjut dengan
pembunuhan terhadap Prawata oleh Putra Seda Ing Lepen, Arya
Penangsang atau Arya Jipang pada tahun 1549M
Menantu
Trenggono, Pangeram Kalinyamat juga dibunuh. Arya Penangsang akhirnya
wafat dibunuh Adiwijaya. Menantu Trenggono yang terkenal sebagai Jaka
Tingkir, Adipati penguasa Pajang ini kemudian memindahkan pusat
kerajaan ke Pajang. Dengan demikian, berakhir pula kekuasaan Demak
pada tahun 1546M setelah berjaya selama 65 tahun. Akibat kemelut ini,
sebanyak 24 orang keturunan Sultan Trenggano (keturunan Raden Fatah)
hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Sido Ing Lautan.
Setelah Ki Gede Sido Ing Lautan yang berkuasa di Palembang wafat,
digantikan putranya, Ki Gede Ing Suro. Karena raja ini tidak memiliki
keturunan, dia digantikan saudaranya. Ki Gede Ing Suro Mudo.
Sumber
:
http://melayuonline.com/ind/news/read/9489/makam-ki-gede-ing-suro-jejak-awal-kerajaan-islam-palembang