Halaman

Kamis, 26 Mei 2011

PERAHU KAJANG

Lajulah laju selungku kajang belakangi ulu. Kayuh dayung tinggalkan jauhi Kayuagung. Bawa tembikar angkut tikar. Perahu terlindap atap. Titi singgahi dusun-dusun tepi. Bongkar muat barang setiba Bandar Palembang. Beli pitir emas beli sabut kain. Perahu kajang mengulu pulang. Zaman berubah, manusia-manusia setia pada arus sungai perlahan hilang.

Cerita tentang manusia perahu yang akrab dengan sembilan batanghari terutama Musi, telah lama saya dengar. Kedekatan mereka pada arus sungai menjadikan perahu tak ubahnya adalah rumah. Konon, mereka jarang menjejak daratan. Diceritakan, mereka cepat letih bila berjalan di darat tapi lengan-lengan mereka perkasa mengayuh dayung. Cerita ini kembali menarik perhatian saya ketika menandangi Nurhadi Rangkuti, sahabat serorang Paman.

“Banyak tipe perahu tradisional di Sumatra Selatan. Bisa jadi cerita yang kau dengar itu terkait perahu kajang,” ujar Nurhadi yang juga kepala Balai Arkeologi Palembang dalam suasana santai. Ia lalu bercerita tentang perahu-perahu yang ia teliti. Enak didengar. Catatan arkeologis dalam tutur etnografis. “Perahu kajang,” lanjut Nurhadi, “sangat mungkin warisan dari masa Sriwijaya.”

1303174747388127308

Perahu Kajang di Air Musi (koleksi: Palembang Tempoe Doeloe)

Perahu kajang khas dari daerah Kayu Agung, Ogan Komering Ilir. Untuk ukuran perahu sungai, ia terhitung besar. Dayungnya saja sepanjang tiga meter dan memerlukan alat kemudi selain dayung. Didayung dari depan, kemudi arahkan perahu dari buritan. Perahu kajang memiliki dimensi panjang 8 meter lebar 2 meter. Buku Kerajaan Sriwijaya yang disusun Erwan Suryanegara, Ahmad Muhaimin, dan Eka Paskal menyebut ukurannya lebih besar lagi, 10 meter sisi panjang dan 3 meter sisi lebar.

Cerita panjang Nurhadi Rangkuti tentang perahu kajang memberi kesan perahu ini tak ubahnya rumah berjalan. Perahu tradisional ini beratap. Keberadaan atap (kajang) dari daun nipah inilah yang menjadi cikal namanya. Layaknya sebuah rumah tinggal, perahu memiliki ruang tengah tempat anggota keluarga beristirahat. Pada bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Barang-barang muatan serta ruang kemudi berada di bagian depan perahu.

Rincian tata ruang perahu kajang membuat saya mengangguk percaya ketika Nurhadi menyebutkan, “di atas perahu kajang, mereka bisa tinggal di sungai selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun baru pulang ke rumah di kampung.”

Karena fungsinya mirip “rumah”, penghuni perahu kajang bisa sebuah keluarga utuh. Sepasang suami-istri, dan anak-anak. Kadang hewan piaraannya macam kucing dan anjing dibawa serta.

13031746301887985900

Kajang Menepi di pangkalan ramai (koleksi: syahbta)

Manusia perahu kajang memainkan peran penting dalam perniagaan antar kawasan ulu dan ilir Sumatra Selatan. Terutama perniagaan tembikar dan hasil bumi. Tembikar memang produk kerajinan utama daerah Kayu Agung “tempo doeloe”. Perahu penuh muatan kemudian menyusuri sungai dan singgah menjajakan dagangan di pangkalan-pangkalan yang ramai. Di Palembang, perahu kajang yang datang dari ulu sungai ramai berlabuh di dermaga muara sungai Rendang. Muatan perahu diperdagangkan di pasar 16 ilir Palembang. Dari Palembang, perahu yang sudah kosong diisi kembali dengan bahan-bahan yang bisa diperniagakan di daerah ulu sungai.

Teno Haika, kawan baik di Palembang penuh semangat bercerita ketika mendapati ketertarikan saya pada perahu kajang. Kebetulan, kakeknya adalah manusia perahu kajang.

“Aku lebih memilih istilah ‘pedagang perahu kajang’. Karena memang pekerjaan mereka berdagang,” protes Teno terhadap istilah ‘manusia perahu kajang ‘ yang saya sebutkan. “Mereka habiskan waktu hanya ilir-mudik dari dusun asal ke Palembang atau ke daerah lain.

Kakek sang kawan ini tak memuat tembikar di perahunya, melainkan hasil bumi. “Hasil bumi yang diangkut sama dengan apa yang dibawa pedagang-pedagang dari daerah ulu ke Pasar Jakabaring sekarang. Pisang, kelapo, nangko, sayuran. Pas musim buah musiman, angkut duku, duren, rambutan. Macem-macemlah…”

Pedagang yang membawa hasil bumi, hampir bisa dipastikan menjajakan muatan perahunya di tempat-tempat ramai di daerah ilir sungai. Tapi perahu kajang yang dimuati tembikar atau kerajinan lain misalnya tikar purun tidak selalu menuju ilir. “Mereka juga berperahu ke daerah-daerah di ulu sungai. Tempat dimana pembeli membutuhkan produk gerabah, misalnya kehan (tungku masak), kendi, guci, kermalangan (tutup panci pemasak kue), pinggan (piring), tembikar hiasan, dan lain-lain.

13031749831813725851

Keluarga Perahu Agung di Sungai Ogan sekitar tahun 1930-an (koleksi: Joni Lodeh)

Catatan Joni Lodeh, narablog asal Baturaja senada dengan keterangan Teno. Baturaja adalah kota di kabupaten Ogan Komering Ulu. Dari nama kabupaten ini, terang posisi Baturaja berada di ulu Kayu Agung.

Masyarakat Baturaja menyebut perahu kajang sebagai “perahu agung”. Karena ukurannya besar juga karena datang dari Kayu Agung. Kata Joni, perahu agung membawa barang dagangan berupa gerabah tanah liat keperluan rumah tangga. Perahu akan berlabuh selama beberapa hari di pangkalan yang ramai. “Biasenye di bawah batang kayu ujan, pas di belakang Pasar Tugu. Kadang di bawah batang kayu ujan di belakang Rumah Sakit, atau di tangge pangkalan Langgar Ogan. Saat perahu agung mendarat, itulah kesempatan yang dinanti anak-anak untuk membeli celengan tanah liat berbentuk ayam, kucing, atau mainan anak-anak.”

Beberapa catatan menyebutkan keberadaan perahu kajang perlahan menghilang di era 1980-an. Setelah itu ia tak lagi terlihat ilir-mudik di anak-anak Musi. Masyarakat Kayu Agung sebagaimana hasil penelitian balai arkeologi Palembang menyebutkan perahu kajang mulai tak digunakan lagi seiring merosotnya pemasaran produk tembikar dari kawasan itu.

“Masuknya perabotan impor dari Cina salah satu penyebabnya,” duga Nurhadi Rangkuti. “Perabotan rumah tangga non-gerabah dengan harga lebih murah membuat industri gerabah gulung tikar. Pedagang perahu kajang akhirnya hilang.”

Satu kawan budayawan di Palembang, Erwan Suryanegara, memberi pendapat tambahan. Kemajuan moda transportasi darat dan sarana berupa jalan memberi pengaruh nyata. Sungai (dan transportasi air) kehilangan keutamaannya. Bahkan rumah-rumah panggung tradisional pun berbalik arah, dari menghadap sungai menjadi menghadap jalan raya, dan ini bisa berarti rumah-rumah membelakangi sungai. Pemandangan demikian terlihat mulai dari ulu sungai hingga ke ilir mendekati Palembang.

“Sebelum kemajuan transportasi darat, peningkatan teknologi transportasi air sudah lebih dulu memberi pengaruh pada eksistensi perahu kajang,” pendapat Teno. “Perahu kajang mulai tergeser sejak kemunculan perahu tongkang bermotor yang menjemput hasil bumi dari ulu untuk dibawa ke Palembang.”

Diceritakan Teno, awal-awalnya kehadiran tongkang bermotor tampaknya dirasa menyenangkan bagi pedagang perahu kajang. Perjalanan mudik ke ulu menjadi lebih mudah. Tak perlu lagi mengayuh dayung melawan arus. Perahu kajang mengulu ditarik tongkang. Lama kelamaan perahu bermotor bertambah banyak dan dianggap lebih efisien karena lebih cepat ketimbang perahu kajang. Perahu kajang kian tenggelam ketika akses jalan raya dari ulu ke ilir lebih lancar.

Diskusi kecil dengan Erwan menghasilkan persangkaan baru. Barangkali menghilangnya perahu kajang juga berkat sumbangan pengelolaan sumber daya alam yang salah-urus. Perilaku “primitif” manusia cenderung merusak alam telah mencederai batanghari (sungai). Batanghari Komering kini juga difungsikan menjadi pemasok air irigasi teknis. Barangkali analisa dampak lingkungan untuk proyek irigasi telah mengabaikan karakter asli sungai komering yang berdasar pasir. Air sungai yang bagi-bagi membuat Batanghari Komering menjadi tak ubahnya “got” di lautan pasir ketika musim kemarau datang. Kondisi ini tak memungkinkan bagi perahu kajang melintas sungai. Di sisi lain laju pembukaan hutan sepanjang daerah aliran sungai perkebunan sawit dan HTI turut mengurangi debit air sekaligus menyumbang pengendapan lumpur yang dibawa dari hulu dan menyebabkan pendangkalan sungai tempat perahu kajang lalu.

Punah?

Merujuk pada informasi yang disampaikan Erwan, perahu kajang Kayu Agung bisa dikatakan sudah punah.

Teno yang masih menyimpan dayung perahu kajang warisan kakeknya punya pendapat mirip. “Saya rasa sudah tak ada lagi perahu kajang berukuran besar. Masih ada berukuran kecil dengan bentuk sekadar mirip perahu kajang. Punya “tanduk” di buritan kapal tempat kemudi.”

“Sayang kalau perahu kajang tak dilestarikan. Karena perahu kajang bukan sekadar ciri khas Kayu Agung. Tapi sebuah pengetahuan dan teknologi pembuatan perahu yang unik dan bernilai sejarah,” Kata Nurhadi. Balai arkeologi Palembang setelah berkali menelusuri Sungai Komering, hanya menemukan satu perahu kajang. Satu-satunya itu pun sudah dimodifikasi menjadi perahu “ketek” mesin.

Ketika saya sampaikan keingintahuan apakah memang cuma satu perahu kajang yang berhasil didokumentasikan balai arkeologi Palembang, Arkeolog senior yang saya tandangi itu menyebutkan masih ada beberapa lagi. Tapi bukan perahu kayu, melainkan dari semen. Dalam wujud monumen.

Laju!

13031750451340664321

Ketika Perahu Kajang Masih Ramai di kawasan Benteng Kuto Besak Palembang (koleksi Moeslem Koerniady)