Halaman

Minggu, 24 April 2016

Sejarah Candi Bumiayu Muara Enim



Sejarah Candi Bumiayu Muara Enim
Candi Bumi Ayu merupakan salah satu situs peninggalan agama Hindu yang terdapat di pesisir sungai lematang, di hilir desa siku sebagai desa paling hilir dari kecamatan rambang dangku masih kawasan Kabupaten Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan. dengan kata lain suksesnya candi bumi ayu sebagai tujuan wisata akan berpengaruh pada perkembangan rambang dangku.
Candi-candi di Bumi ayu merupakan death monument, artinya monumen yang telah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Candi tersebut ditinggalkan mungkin seiring dengan terdesaknya kekuatan politik Hindu oleh Islam pada sekitar abad ke-16. Kemudian candi-candi itu rusak dan terkubur tanah hingga ditemukan kembali oleh E.P. Tombrink tahun 1864. Tinggalan monumental itu beserta sistem budayanya benar-benar hilang pula dari ingatan kolektif pewarisnya. Hal itu tampak bahwa penduduk Bumi ayu tidak mengenal fungsinya semula. Cerita penduduk yang dicatat oleh A.J. Knaap tahun 1902 menyatakan bahwa apa yang sekarang disebut candi di Bumi ayu itu adalah bekas istana sebuah kerajaan yang disebut Gedebong Undang. Diceritakan pula bahwa wilayah kerajaan tersebut sampai di Modong dan Babat. F.M. Schnitger melaporkan bahwa di kedua desa tersebut terdapat pula tinggalan agama Hindu (1934:4), namun kini telah hilang terkena erosi Sungai Lematang.
Penduduk Bumiayu tidak mengenal pula kata “candi” sebelum ada kegiatan penelitian, perlindungan, dan pemeliharaan di situs tersebut. Kata “candi” diambil dari bahasa Jawa untuk menggantikan kata “kuil” dari agama Hindu atau Budha. Namun, orang Jawa yang mewarisi puluhan candi-candi itu pun tidak mengenal lagi pengertian dan fungsi candi yang sebenarnya. Mereka menganggap candi sebagai bangunan pemakaman atau penanaman abu jenazah, bukan kuil dewa Hindu atau Budha. R. Soekmono (1974)
Candi ini merupakan satu-satunya Kompleks Percandian di Sumatera Selatan, sampai saat ini tidak kurang 9 buah bangunan Candi yang telah ditemukan dan 4 diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3 dan Candi 8. Usaha pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990 sampai sekarang, dengan didukung oleh dana APBN. Walaupun demikian peran serta Pemerintah Kabupaten Muara Enim cukup besar, antara lain Pembangunan Jalan, Pembebasan Tanah dan Pembangunan Gedung Museum Lapangan. Percandian Bumiayu meliputi lahan seluas 75,56 Ha, dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang sebagian sudah mengalami pendangkalan.
Baru baru ini sedang dibangun dan diperlebar jalan dari teluk lubuk menuju tanah abang yang melewati bebarapa desa di daerah rambang dangku di sepanjang aliran sungai lematang sebagai salah satu akses menuju kawasan candi bumi ayu.
Objek Wisata Candi Bumi Ayu terletak di Desa Bumiayu Kecamatan Tanah Abang jarak antara kota Muara Enim sekitar 85 Km ditempuh dengan kendaraan darat.
Candi Bumi Ayu pada saat ini masih dalam proses pengkajian dan pemugaran, sehingga belum banyak informasi yang dapat diketahui, sedangkan informasi tertulis dari Candi tersebut masih dalam proses dipahami oleh Tim Pengkajian Peninggalan Purbakala Propinsi Sumatera Selatan.

Sumber :
http://mocoe.wordpress.com/sejarah-%E2%80%9D-candi-bumiayu%E2%80%9D/

Masjid Agung Palembang, Sumsel


Masjid Agung Palembang, Sumsel

Masjid Agung pada mulanya disebut Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (tahun 1724-1758). Masjid Agung Palembang bagian dari peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, dan menjadi salah satu masjid tertua di Kota Palembang. Masjid ini berada di utara Istana Kesultanan Palembang, di belakang Benteng Kuto Besak yang berdekatan dengan aliran sungai Musi. Secara administratif, berada di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang.
Masjid Agung Palembang mulai dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Pembangunan berlangsung selama 10 tahun dan resmi digunakan sebagai tempat peribadatan umat muslim Palembang pada tanggal 28 Jumadil Awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Masjid Agung 1753 Awalnya masjid ini bernama Masjid Sultan, dan belum memiliki menara. Bentuk masjid hampir bujursangkar, memiliki ukuran 30 meter x 36 meter. Dengan luas mencapai 1080 meter persegi, konon, Masjid Sultan merupakan masjid terbesar di nusantara yang mampu menampung 1200 jema’ah.
Masjid Sultan dirancang oleh seorang arsitek dari Eropa. Konsep bangunan masjid memadukan keunikan arsitektur Nusantara, Eropa dan Cina. Gaya khas arsitektur Nusantara adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak masjid atau mustaka memiliki jenjang berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika berpola bunga merekah. Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak. Atap masjid berbentuk limas, terdiri dari tiga tingkat. Pada bagian atas sisi limas atap terdapat jurai daun simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. Setiap sisi limas memiliki 13 jurai. Bentuk jurai melengkung dan lancip. Rupa ini merupakan bentuk atap kelenteng Cina. Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada rupa jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi kesan kokoh. Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung dari Eropa.
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid dibangun. Lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di bagian barat. Pola menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa menara masjid menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada bagian ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar yang mengelilingi bangunan menara.
Pada tahun 1819 dan 1821 dilakukan pemugaran masjid akibat peperangan besar yang berlangsung selama lima hari berturut-turut. Perbaikan masjid dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Atap genteng menara masjid diganti atap sirap. Tinggi menara ditambahkan dengan adanya beranda melingkar. Usia satu abad Masjid Sultan, yakni pada tahun 1848, dilakukan perluasan bangunan oleh pemerintah Hindia Belanda. Gaya tradisional Gerbang Utama masjid diubah menjadi Doric style. Pada tahun 1879, serambi Gerbang Utama masjid diperluas dengan tambahan tiang beton bulat. Rupa serambi Gerbang Utama menyerupai pendopo, namun bergaya kolonial.
Perluasan pertama Masjid Sultan dilaksanakan pada tahun 1897 oleh Pangeran Nata Agama Karta Manggala Mustofa Ibnu Raden Kamaluddin. Lahan yang dijadikan areal kawasan masjid merupakan wakaf dari Sayyid Umar bin Muhammad Assegaf Althoha dan Sayyid Achmad bin Syech Shahab. Kemudian nama Masjid Sultan diubah menjadi Masjid Agung.
Perbaikan dan perluasan masjid dilakukan kembali pada tahun 1893. Pada tahun 1916 bangunan menara masjid disempurnakan. Kemudian pada tahun 1930, dilakukan perubahan struktur pilar masjid. Yakni menambah jarak pilar dengan atap menjadi 4 meter. Pada kurun tahun 1966-1969 dibangun lantai kedua. Luas mesjid menjadi 5.520 meter persegi dengan daya tampung 7.750 jema’ah. Pada tanggal 22 Januari 1970 dimulai pembangunan menara baru yang disponsori oleh Pertamina. Menara baru ini setinggi 45 meter, mendampingi menara asli bergaya Cina. Renovasi Masjid Agung diresmikan pada tanggal 1 Februari 1971.
Sejak tahun 2000, Masjid Agung dilakukan renovasi kembali, dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 bertepatan dengan peresmiaannya oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri. Masjid Agung Palembang yang megah dan berdiri kokoh kini mampu menampung 9000 jama’ah. Tempat Pusat Kajian Islam di Palembang Arsitektur Masjid Agung dan masjid tua lainnya di Palembang secara simbolik memiliki nilai filosofis yang tinggi. Undakan pelataran masjid dan tingkatan atap yang berjumlah tiga memberi makna perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hamka (1961) menafsirkan atap tumpang sebagai berikut: Tingkat pertama melambangkan Syariah serta amal perbuatan manusia. Tingkat kedua melambangkan Thariqat yaitu jalan untuk mencapai ridlo Allah SWT. Atap tingkat ke tiga melambangkan Hakikat, yaitu ruh atau hakekat amal perbuatan seseorang. Sedangkan Puncak (Mustoko) melambangkan Ma’rifat, yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pusat kajian Islam yang telah melahirkan sejumlah ulama besar. Syekh Abdus Shamad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah, adalah beberapa ulama yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Agung. Peran para ulama ini sangat besar dalam mengembangkan agama Islam di wilayah Kesultanan Palembang. Konsep pengajaran Islam diturunkan kedalam lingkup amal (praktik) dan ilmu (wacana), sehingga mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat muslim Palembang.
Masjid Agung Palembang menyimpan kenangan tak terlupakan sepanjang masa. Ia menjadi saksi perjuangan rakyat Palembang pada pertempuran lima hari melawan Belanda di pusat kota. Pertempuran bermula pada tanggal 1 Januari 1947. Pejuang Republik awalnya menyerang RS Charitas. Keesokan harinya Belanda membalas serangan dengan kekuatan penuh menuju pusat komando pejuang Republik yang berada di Masjid Agung Palembang. Batalyon Geni merapatkan barisan bersama berbagai tokoh masyarakat demi mempertahankan masjid dari kehancuran. Pejuang Republik berhasil bertahan, tentara Belanda mundur akibat kekurangan pasokan. Pada saat yang bersamaan bantuan pasukan Belanda yang datang dari Talangbetutu berhasil dihadang oleh pasukan Republik dibawah Letnan Satu Wahid Luddien.
Belanda melancarkan kembali serangan pada hari ketiga. Kekuatan mereka lebih besar, mendapat dukungan serangan udara dari pesawat – pesawat Mustang untuk meluluhlantakkan kota Palembang. Namun upaya mereka gagal, kememangan kembali diraih setelah pasukan Ki.III/34 berhasil menenggelamkan satu kapal Belanda yang penuh dengan mesiu, meskipun harus menelan korban banyak akibat bombardir serangan udara pesawat Mustang Belanda.

Pada hari keempat, bantuan pasukan Republik yang akan bergabung di Masjid Agung Palembang dihadang pasukan Belanda di wilayah sekitar Simpang Empat BPM, Sekanak dan Kantor Karesidenan. Pertempuran berlanjut hingga hari kelima. Kekuatan Belanda langsung menuju jantung pertahanan pasukan Republik, Masjid Agung Palembang. Pertempuran sengit terjadi, pasukan Mobrig pimpinan Inspektur Wagiman dengan bantuan Batalyon Geni mampu mempertahankan garis pertahanan sehingga pasukan Belanda gagal merangsek. Setelah melewati lima hari pertempuran yang melelahkan, pihak Belanda menyatakan mundur. Disepakati perjanjian Cease Fire oleh kedua belak pihak. Perjanjian ini menandakan berakhirnya pendudukan Belanda dari wilayah kota Palembang.
Masjid ini menjadi perlambang sebuah semangat perjuangan rakyat dalam mempertahanan hak hidup, hak menentukan nasib sendiri dan hak merdeka sebagai manusia seutuhnya. Seiring gema adzan yang mengalun di antara menara-menara besarnya, masjid ini tetap kokoh menjaga umat muslim dari sebuah ketertindasan.

Sumber :
http://pelajaran-dunia.blogspot.com/2012/11/sejarah-berdirinya-masjid-agung.html

Reformasi Birokrasi

Reformasi Birokrasi
Reformasi Birokrasi Kemenag


































































Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, menyatakan bahwa reformasi birokrasi merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut tiga aspek, yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan Sumber Daya Manusia aparatur. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah area perubahan yang meliputi Kelembagaan (organisasi); Budaya Organisasi; Ketatalaksanaan; Regulasi-regulasi birokrasi; dan Sumber Daya Manusia. Sementara hasil yang ingin dicapai adalah organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran; birokrasi degan integritas dankinerja tinggi; sistem proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance; regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif; serta SDM yang berintegrasi, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera.
Pelaksanaan program reformasi birokrasi yang dapat dijadikan contoh (best practice), yaitu Kementrian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksaan Keuangan. Misalnya, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan sebagai proyek percontohan mengedepankan 3 pilar utama reformasi, yaitu:
  • Penataan organisasi, meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi, serta modernisasi organisasi
  • Penyempurnaan Proses Bisnis, yang terdiri dari penyusunan Standard Operating Procedures (SOP) yang rinci, analisis danevaluasi jabatan serta analisis beban kerja, dan
  • Peningkatan Manajemen SDM, berupa pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian, penyusunan pedoman dan penetapan pola mutasi, pembangunan Assessment Center, penyusunan pedoman rekruitmen, dan peningkatan disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan agenda reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama secara resmi telah di-launching oleh Menteri Agama beberapa waktu yang lalu, dengan tujuan utama agar tercipta penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bersih, yang tercermin dari pelayanan yang bermutu kepada masyarakat, dan birokrasi yang efektif, efisien, akuntabel serta terhindar dari segala bentuk penyimpangan. Adapun area perubahan dalam program reformasi birokrasi di Kementrian Agama mengedepankan delapan area, antara lain:
  • Perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) yaitu birokrasi yang berintegritas dan berkinerja tinggi
  • Organisasi yang tepat ukuran dan fugsi
  • Proses kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, yang menunjang good governance
  • Sumber Daya Manusia aparatur yang memeliki integritas, netralitas, kompeten, kapabel, profesional, kinerja tinggi dan sejahtera
  • Regulasi yang kodusif, tepat dan tidak tumpang tindih
  • Pengawasan untuk meningkatkan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
  • Akuntabilitas kinerja birokrasi, dan
  • Pelayanan publik yang memenuhi pelayanan yang berkualitas (excellent).
Paling tidak ada sembilan prinsip reformasi birokrasi di Kementerian Agama yang harus dipedomani, yakni:
  • Berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan publik
  • Berorientasi pada peningkatan kinerja
  • Integritas
  • Akuntabilitas
  • Transparansi
  • Penegakan hukum/aturan
  • Disentralisasi/pembagian wewenang
  • Antisipasi, dan
  • Inovatif. Secara tajam, untuk mewujudkan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama, maka perlu:
  • Instruksi Menteri Agama tentang pelaksanaan reformasi birokrasi;
  • Menyusun grand strategy reformasi birokrasi secara efektif, efisien, produktif yang bebas dari praktik KKN
  • Melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi secara bertahap dan berkelanjutan
Tujuh Langkah Nyata Agar reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama tidak hanya slogan saja, maka perlu langkah-langkah konkrit, antara lain:
  • Penataan organisasi, meliputi pemisahan, penggabungan, penajaman tugas dan fungsi organisasi
  • Penyempurnaan tata laksana (business process), meliputi pembuatan analisis dan evaluasi, analisis beban kerja, risiko jabatan, dan job description;
  • Peningkatan pelayanan public, meliputi pembuatan standar pelayanan minimal, seperti standar biaya, mutu, waktu, sarana, prasarana, informasi dan teknologi
  • Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), meliputi perumusan indicator kinerja utama sebagai tolok ukur keberhasilan capaian kinerja
  • Pengembangan SDM, meliputi penyusunan formasi, rekruitmen, reposisi pegawai, penciptaan system assessment center, pembuatan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) yang terintegrasi, peningkatan koordinasi antar unit terkait, pendidikan dan pelatihan (diklat) berbasis kompetensi serta peningkatan disiplin pegawai;
  • Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk melaksanakan semua kegiatan dari langkah-langkah konkrit reformasi birokrasi tersebut.
Sekretaris Jenderal Kementrerian Agama, Bahrul Hayat, Ph.D, menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Kementerian Agama menekankan pembangunan bidang agama dengan arah kebijakan pada:
  • Peningkatan kualitas kerukunan intern dan antar umat beragama
  • Peningkatan kualitas pelayanan, pemahaman dan kehidupan beragama
  • Kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, pemahaman dan kehidupan beragama setidaknya menyangkut dua hal, yaitu:
  • Pelayanan kepada umat beragama agar dapat memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya
  • Pelayanan dalam rangka peningkatan kualitas pengamalan ajaran agama dikalangan pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
Ada tiga hal yang dibutuhkan dalam upaya perbaikan kinerja pelayanan public, yaitu:
  • Adanya perangkat hukum atau aturan berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui public, apa yang diputuskan
  • Adanya struktur pelaksana, prosedur dan pembiayaan yang tertuang dalam suatu prosedur operasional yang berstandar
  • Adanya control public, yakni mekanisme yang memungkinkan public mengetahui apakah pelayanan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.
Idealnya dalam suatu standar pelayanan dapat terlihat dengan jelas dari:
  • Dasar hukum
  • Persyaratan pelayanan
  • Prosedur pelayanan
  • Waktu pelayanan
  • Biaya
Proses pengaduan Program percepatan (Quick Wins) Reformasi Birokrasi di Kemenag :
  • Pendaftaran Haji
  • Penerimaan CPNS
  • Pencatatan Nikah
  • Sertifikasi Guru dan Dosen
  • Pemberian Beasiswa
Ada tiga pilar utama Reformasi Birokrasi yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan reformasi itu sendiri, yaitu :
  • Penataan Organisasi
  • Penyempurnaan Tata Kelola Pemerintahan
  • Peningkatan Disiplin dan Manajemen SDM
Reformasi Birokasi Kanwil Kemenag Sumsel Kantor Wilayah Kemenag Sumsel telah melakukan langkah-langkah menuju ke arah reformasi birokrasi, yang ditandai dengan :
  • Dalam rangka pembangunan aparatur negara yang efektif dan efisien melalui birokrasi untuk terwujudnya suatu sistem yang sesuai dengan prinsip-prinsip Good Government, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan membentuk Tim Reformasi Birokrasi. Tim ini sendiri terdiri dari 25 orang yang diketuai langsung Kepala Kantor Wilayah Kemenag Sumsel Drs. H. Najib Haitami, MM., Pejabat Eselon III, Kasubbag dan Kasi Setiap Bidang, dan 4 orang staf sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Nomor : Kpts/KW.06.1/2/OT.00.1/209/2011 tanggal 2 Agustus 2011. Pembentukan Tim Reformasi Birokrasi ini bertujuan untuk mewujudkan sistem birokrasi pemerintahan yang betul-betul sesuai dengan prinsip Pemerintahan yang baik atau Good Goverment. “Tim Reformasi Birokrasi ini bertujuan mempercepat reformasi birokrasi di lingkungan Kemenag Sumsel agar sesuai dengan prinsip-priinsip Good Goverment. Untuk membantu mewujudkan prinsip tersebut tim ini mempunyai tugas dan tanggung jawab membuat Analisis Jabatan (Anjab), Analisis Beban Kerja (ABK), dan Standar Operasional Prosedur (SOP).
  • Tugas utama tim ini tentunya membuat dan menyelesaikan penyusunan Analisi Jabatan, Analis Beban Kerja dan SOP. Dan selain itu, tim reformasi birokrasi ini melaksanakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi terhadap program layanan unggulan di lingkungan Kemenag Sumsel; diatarannya Pendaftaran Haji, Penerimaan CPNS, Pencatatan Nikah, Sertifikasi Guru, dan Pemberian Beasiswa. Dengan terbentuknya tim ini akan meningkatkan kinerja Kementerian Agama Sumsel yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, sehingga dnegan sendirinya berbagai program-program dan layanan baik keagamaan dan pendidikan dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
  • Selain itu, Kanwil juga memperketat kedisiplinan pegawai dengan mewajibkan seluruh pegawai apel pagi mulai hari Senin – Kamis.
  • Sosialiasi Budaya Kerja dan Reformasi Birokrasi di Hotel Grand Duta Palembang pada tanggal 5-7 Mei 2014
  • Diklat Pembuatan SOP dan Analis Beban Kerja (ABK) dan Analis Jabatan

Masjid Cheng Ho Palembang




Jalur sutra laut yang digariskan pada peta perjalanan akbarnya menempatkan Palembang pada posisi yang mau tak mau harus dilalui, bahkan dikunjungi. Kedatangannya ke Palembang bukan sebuah kebetulan. Dahulu, Palembang diperkirakan sebagai basis dari pemerintahan Kerajaan Sriwijaya yang masih memiliki keterkaitan kekuasaan dari Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sebelum mendatangi Palembang, Cheng Ho, seorang admiral yang diutus oleh Kaisar Ming III, Cheng Cu yang bergelar Yung Lo dan beragama Islam, mengadakan misi silaturahmi dan kenegaraan dengan Majapahit. Tak heran, kedatangannya disambut gembira dan mendapatkan penerimaan yang kondusif bagi penyebaran agama Islam oleh Tionghoa di Indonesia. Berdirilah musala-musala yang hingga kini sudah lebih banyak dijadikan masjid besar dan tak ayal lagi nama Cheng Ho disematkan sebagai pengingat bahwa jasanya bagi Islam di Nusantara tertoreh selamanya.
Jalur sutra tak hanya dibina di daratan. Lautan adalah jalur yang dimanfaatkan oleh mereka yang berjiwa besar berpredikat pelayar. Setelah Kaisar Ming II memberikan jabatannya pada Cheng Cu dan memilih menjadi seorang sufi di tanah Mekah, negeri China yang pernah dikuasai oleh pemerintahan kaisar Islam, membukakan misi silaturahminya ke seluruh negeri, terutama Timur Tengah. Bagi Cheng Ho, dan bangsa China umumnya, membina sesuatu tak pernah berpatok di pertengahan. Selalunya mereka membuat hal besar dan lebih besar dari yang pernah ada. Dikatakan dari berbagai referensi, bahwa kapal Christopher Columbus pun harus mengakui kesederhanaan ukurannya dibandingkan dengan perahu raksasa yang digunakan Laksamana Cheng Ho. Tersebutlah sebuah gerombolan perompak berkebangsaan China yang menguasai Palembang dan meresahkan para pedagang. Hal ini dideteksi Majapahit dan juga Sriwijaya.Tahun 1403 atau ada yang menyebutnya 1407, Cheng Ho datang ke Sriwijaya, menumpas Chen Tsu Ji, kepala perompak asal Kanton yang dahulunya pun seorang admiral yang lari dari China saat kekaisaran Ming berdiri. Chen TsuJi menyebut daerah di sekitar Palembang tempat ia berkuasa sebagai Po Lin Fong, atau Pelabuhan Tua. Begitu dekat pelafalan ‘Po Lin Fong’ dengan ‘Pa-Lem-Bang’. Itukah asalnya? Atau Chen TsuJi hanya meneruskan nama yang sudah ada sebelumnya, tak pernah benar-benar dapat dipastikan.
Masjid Cheng Ho yang ada di Palembang saat ini memang tak berdiri sejak 600 tahun silam. Karena usulan dari masyarakat Tionghoa di Palembang, kemudian didukung oleh para sesepuh Tionghoa dan juga para ulama, terutama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sumatera Selatan, maka pembinaan masjid yang bernama lengkap “Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang” dilakukan September 2005 saat diletakkan batu pertama. Untuk pertama kalinya, salat Jumat secara umum dilakukan tanggal 22 Agustus 2008.
Berdiri di atas lahan seluas 5.000 meter persegi, masjid ini dapat menampung jemaah sebanyak 600 orang, walau kenyataannya sekitar 1.500 orang pun dapat diakomodir kompleks ini. Dengan gaya arsitektur gabungan antara unsur lokal Palembang, China, dan Arab, masjid ini sudah banyak dikunjungi oleh peziarah dari Malaysia, China, Singapura, Taiwan, dan Rusia. Selain sebagai masjid, bangunan ini kerap kali digunakan untuk menggelar kegiatan kemasyarakatan. Jiwa dan semangat ‘Sang laksamana besar’ masih ada, dimana misi Cheng Ho dahulu kala pun untuk menciptakan perdamaian dunia, menyebarkan risalah Islam dan juga memperkenalkan Dinasti Ming sebagai pengikut utusan surga. Letak masjid ini tepatnya di Perumahan Amin Mulia, Jakabaring, 3 kilometer dari Kota Palembang dan tak mungkin terlewatkan karena warna merah mendominasi seluruh bangunan juga tambahan warna hijau giok khas China. Perpustakaan, ruang sidang, rumah imam masjid, dan sebuah kantor administrasi sudah berdiri sebagai bagian dari kompleks masjid yang banyak mengundang peziarah yang ingin mengenal sejarah Islam di Indonesia, lewat salah satu masjid Cheng Ho dari tiga masjid yang mana kedua lainnya ada di Surabaya dan Pasuruan. Masjid ini memiliki kaitan sejarah mancanegara, sehingga mempelajarinya menjadi penting. Datang dan kunjungi Masjid Cheng Ho, di Kota Palembang!
Sumber :
http://indonesia.travel/id/destination/374/palembang-di-sungai-musi/article/91/masjid-cheng-ho-palembang-jejak-silaturahmi-armada-china

K i Gede Ing Suro, Pendiri Kerajaan Islam di Palembang




Kompleks pemakaman kuno Ki Gede Ing Suro masuk dalam wilayah administratif Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan IT II Paembang. Di kompleks makam ini terdapat delapan bangunan dengan jumlah keseluruhan 38 makam. Kompleks pemakaman ini dibangun pertengahan abad ke-16. Ki Gede Ing Suro merupakan pendiri kerajaan Islam Palembang, Yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Ki Gede Ing Suro adalah putra Ki Gede Ing Lautan, salah satu dari 24 bangsawan dari Demak yang menyingkir ke Palembang, setelah terjadi kekacauan di kerajaan Islam terbesar di pulau jawa itu. Kekisruhan ini merupakan rangkaian panjang dari sejarah kerajaan terbesar di nusantara, setelah kerajaan Sriwijaya, yaitu Kerajaan Majapahit.
Raden Fatah yang lahir di Palembang adalah putra Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya V. Raden Fatah lahir dari Putri China yang disebut Putri Champa, setelah istri Brawijaya itu dikirim ke Palembang dan diberikan kepada putra Brawijaya, Ariodamar atau Ario Abdillah atau Ario Dillah. Setelah dewasa Raden Fatah bersama Raden Kusen, Putra Ario Dillah dengan Putri China di kirim kembali ke Majapahit. Oleh Braeijaya V, Raden Fatah diperintahkan untuk menetap di Demak atau Bintaro sedangkan adiknya lain Bapak, Raden Kusen, diangkat sebagai Adipati di Terung.
Pada masa menjelang akhir abad XV ini, Islam di Pulau Jawa mulai kuat. Saat terjadi penyerbuan oleh orang Islam terhadap Majapahit, prajurit kerajaan Hindu itu kalah dan Raja Brawijaya V menyingkir hingga kemudian mangkat. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit, Sunan Ngampel Denta (wali tertua dalam Walisongo) menetapkan Raden Fatah sebagai Raja Jawa menggantikan ayahnya. Tentu saja dengna pemerintahan Islam.
Raden Fatah, dibantu para wali, kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Surabaya ke Demak sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah ini. Atas bantuan penguasa dan rakyat di daerah yang sudah lepas dari Majapahit, antara lain Tuban, Gresik, Jepara, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1481M. Dia menjadi raja pertama dengan gelar Jimbun Ngadur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Agama. Raden Fatah yang wafat sekitar tahun 1518M digantikan putranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521M.
Pengganti Pati Unus adalah Pangeran Trenggono (wafat tahun 1546M). Wafatnya Sultan ketiga Demak ini merupakan awal dari kisruh berkepangjangan di kerajaan Islam yang sempat punya pengaruh besar di Nusantara itu. Tahta kerajaan menjadi rebutan anara saudara Trenggano dengan putranya. Saudaranya yang dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lepen dibunuh putra Trenggono, Pangeran Prawata. Prahara berlanjut dengan pembunuhan terhadap Prawata oleh Putra Seda Ing Lepen, Arya Penangsang atau Arya Jipang pada tahun 1549M
Menantu Trenggono, Pangeram Kalinyamat juga dibunuh. Arya Penangsang akhirnya wafat dibunuh Adiwijaya. Menantu Trenggono yang terkenal sebagai Jaka Tingkir, Adipati penguasa Pajang ini kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Pajang. Dengan demikian, berakhir pula kekuasaan Demak pada tahun 1546M setelah berjaya selama 65 tahun. Akibat kemelut ini, sebanyak 24 orang keturunan Sultan Trenggano (keturunan Raden Fatah) hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Sido Ing Lautan. Setelah Ki Gede Sido Ing Lautan yang berkuasa di Palembang wafat, digantikan putranya, Ki Gede Ing Suro. Karena raja ini tidak memiliki keturunan, dia digantikan saudaranya. Ki Gede Ing Suro Mudo.

Sumber :
http://melayuonline.com/ind/news/read/9489/makam-ki-gede-ing-suro-jejak-awal-kerajaan-islam-palembang