Jakarta (Pendis) - Kementerian Agama Republik
Indonesia kembali menyelenggarakan perhelatan Penghargaan Amal Bhakti
Bidang Pendidikan Islam pada tahun 2014. Populer dengan sebutan
Apresiasi Pendidikan Islam (API), penghargaan diberikan kepada berbagai
unsur pemangku kepentingan yang berdedikasi besar dalam memajukan
pendidikan Islam di Indonesia. Unsur-unsur pemangku kepentingan tersebut
meliputi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, tokoh
masyarakat, dan pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik pada
lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah, Pondok Pesantren, dan
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Sebelum dinominasikan sebagai penerima penghargaan,
para pemangku kepentingan terlebih dahulu harus melalui proses seleksi
yang dilakukan secara ketat oleh Tim Penilai dari Kementerian Agama dan
lembaga penelitian independen. Aspek-aspek penilaian meliputi komitmen
dan tindakan dari para pemangku kepentingan dalam perluasan akses
masyarakat dan peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan
Islam.
Penganugerahan Penghargaan Amal Bhakti Bidang
Pendidikan Islam oleh Kementerian Agama tidak dapat dipisahkan dari
terbukanya babak sejarah baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam
pasca- pemberlakuan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Di satu sisi, undang undang ini menegaskan
integrasi pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Nasional. Integrasi
menghapus dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama, yang cenderung
melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang diskriminatif terhadap
pendidikan Islam pada era sebelumnya. Di sisi lain, Undang Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan posisi
pendidikan Islam sebagai aset bangsa Indonesia. Posisi ini menuntut
pendidikan Islam untuk memberikan kontribusi yang lebih bermakna dalam
pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional. Pendidikan Islam harus
bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat Muslim, tetapi juga bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Menakar Kontribusi Pendidikan Islam
Eksistensi dan kontribusi pendidikan Islam dalam
proses pendidikan dan pembangunan Indonesia sesungguhnya bukanlah hal
yang sama sekali baru. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya
Pondok Pesantren dan Madrasah, telah berkiprah dalam upaya-upaya
pencerdasan masyarakat bahkan jauh sebelum era kemerdekaan.
Namun begitu, dinamika lingkungan yang berlangsung
sangat cepat telah memunculkan banyak tantangan baru bagi dunia
pendidikan Indonesia. Selain masalah "klasik"seputar kualitas sumber
daya manusia (SDM) Indonesia yang terpuruk dalam era globalisasi,
maraknya korupsi, memudarnya semangat kebhinekaan, berkembangnya budaya
kekerasan, dan degradasi kualitas lingkungan adalah beberapa masalah
kontemporer yang menuntut respons dari dunia pendidikan Indonesia,
termasuk pendidikan Islam.
Rendahnya kualitas SDM
Indonesia di tengah kompetisi global adalah masalah utama yang dihadapi
bangsa Indonesia dewasa ini. Laporan United Nations Development Program
(UNDP) Tahun 2014 menyebutkan bahwa Indonesia, pada tahun 2013,
memperoleh skor 0,684 dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index, HDI). Skor HDI
Indonesia lebih tinggi dibandingkan Filipina (0,660), Vietnam (0,638),
Laos (0.569), dan Myanmar (0,524), namun lebih rendah dibandingkan
Singapura (0,901), Malaysia (0,769), dan Thailand (0,722). Sungguhpun
skor HDI menunjukkan peningkatan yang sangat pesat dalam beberapa puluh tahun terakhir, kualitas SDM Indonesia masih tergolong rendah pada tataran global, karena berada pada peringkat ke-108 dari 187 negara di dunia.
Akses Pendidikan
Akar masalah dalam kualitas SDM
Indonesia terletak terutama pada ketimpangan akses terhadap pendidikan.
Jumlah penduduk yang sangat besar dan terdistribusi secara tidak merata
secara geografis mengakibatkan ketidakmerataan akses masyarakat untuk
mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Tantangan yang dihadapi
pendidikan Islam dalam hal ini ialah bagaimana mewujudkan layanan
pendidikan yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat di seluruh
wilayah Indonesia. Indikator keberhasilan pembangunan pendidikan Islam
adalah peningkatan partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah pada
berbagai jenjang, yang diukur antara lain dalam bentuk Angka Partisipasi
Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Sementara APK adalah persentase siswa satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu tingkatan, APM adalah persentase siswa satuan pendidikan pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu tingkatan.
Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan
pendidikan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam, sebagai unit
pelaksana pembangunan pendidikan pada Kementerian Agama, secara
konsisten meningkatkan kapasitas daya tampung pendidikan Islam di
berbagai wilayah, baik melalui pembangunan unit satuan pendidikan baru
maupun merehabilitasi bangunan dan prasarana pendidikan yang rusak.
Dampak dari implementasi kebijakan ini tampak pada meningkatnya
kontribusi APK dan APM satuan pendidikan Islam, sebagaimana dilaporkan dalam publikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2012/2013, APK/APM SD,SMP,SM, dan PT (Termasuk Madrasah dan Sederajat) Tahun 2012/2013.
Pada tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), satuan
pendidikan Islam Raudhatul Athfal (RA) menyerap peserta didik sebanyak
1.074.131 dari total 18.520.685 anak usia 0-6 tahun di seluruh wilayah
Indonesia. Dengan demikian, RA menyumbang APK sebesar 5,79% dari total APK PAUD sebesar 63,01% secara nasional.
Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) sederajat, satuan
pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Pondok Pesantren Salafiyah (PPS)
Ula berhasil peserta didik sebanyak masing-masing 3.200.459 (MI) dan
69.348 (PPS Ula) dari total 26.040.407 penduduk usia 7-12 tahun. Dengan
demikian, MI dan PPS Ula menyumbang APK sebesar 12,29% (MI) dan 0,27% (PPS Ula) dari total APK SD sederajat sebesar 115,88% secara nasional. Dilihat dari kesesuaian usia sekolah peserta didik MI dan PPS Ula pada tingkat SD sederajat, MI dan PPS Ula menyumbang APM sebesar 9,57% (MI) dan 0,11% (PPS Ula) dari total APM SD sederajat sebesar 95,71% secara nasional.
Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
sederajat, satuan pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Pondok
Pesantren Salafiyah (PPS) Wustha menyerap peserta didik sebanyak
2.745.022 (MTs) dan 139.631 (PPS Wustha) dari total 12.775.079 penduduk
usia 13-15 tahun. Dengan demikian, MTs dan PPS Wustha menyumbang APK sebesar 21,49% (MTs) dan 1,09% (PPS Wustha) terhadap APK SMP sederajat sebesar 100,16% secara nasional. Dilihat dari kesesuaian usia sekolah peserta didik MTs dan PPS Wustha pada tingkat SMP sederajat, MTs dan PPS Wustha menyumbang APM sebesar 12,89% (MTs) dan 0,44% (PPS Wustha) dari total APM SMP sederajat sebesar 78,43% secara nasional.
Pada tingkat Sekolah Menengah (SM) sederajat, satuan
pendidikan Madrasah Aliyah (MA) menyerap peserta didik sebanyak
1.102.198 dari total 12.569.500 penduduk usia 16-18 tahun. Dengan
demikian, MA menyumbang APK sebesar 8,77% dari total APK SM sederajat sebesar 78,19% secara nasional. Dilihat dari kesesuaian usia sekolah peserta didik MA pada tingkat SMA sederajat, MA menyumbang APM sebesar 5,33% dari total APM SM sederajat sebesar 58,25% secara nasional.
Pada tingkat Pendidikan Tinggi (PT), Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (PTKI) menyerap peserta didik sebanyak 617.200
mahasiswa dari total 21.185.300 penduduk usia 19-23 tahun. Dengan
demikian, PTKI menyumbang APK sebesar 2,91% dari total APK PT sebesar 28,57 % secara nasional.
Tingginya tingkat partisipasi penduduk usia sekolah
pada satuan pendidikan Islam erat kaitannya dengan ketersebaran satuan
pendidikan Islam yang menjangkau hingga wilayah-wilayah pelosok di
seluruh wilayah Indonesia. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
misalnya, data statistik pendidikan Islam, Kementerian Agama,
menunjukkan bahwa lebih dari 50% satuan pendidikan MI, MTs, MA, dan
Pondok Pesantren berlokasi di wilayah-wilayah pedesaan. Dengan pola
distribusi geografis seperti ini, pendidikan Islam memberikan kontribusi
yang sangat bermakna dalam rangka pemerataan dan perluasan akses
pendidikan.
Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan
Rendahnya kualitas SDM
Indonesia juga terkait dengan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan
yang diselenggarakan, dihadapkan pada berbagai tantangan baru yang
muncul seiring perkembangan lingkungan nasional dan global. Selain
masalah pengetahuan dan keterampilan, kualitas SDM juga tercermin pada kompetensi personal dan interpersonal SDM.
Bahkan, kompetensi personal dan inter-personal yang tercermin pada
karakter berbasis nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, disiplin,
dan kerjasama menjadi faktor penentu keunggulan dan daya saing SDM suatu bangsa dalam kompetisi global.
Dengan demikian, tantangan utama dalam peningkatan
mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan Indonesia lebih dari sekadar
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan ekonomi dan politik global, tetapi juga
mengembangkan sikap dan perilaku positif berbasis nilai-nilai karakter
bangsa. Pada titik ini, pendidikan Indonesia menghadapi salah satu isu
yang menonjol, yaitu terjadinya krisis karakter yang tampak antara lain
pada maraknya kasus korupsi, memudarnya semangat kebhinekaan, konflik
antar-kelompok masyarakat, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Atas
kondisi krisis ini, pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai
agenda utama kebijakan pembangunan nasional, di mana bidang pendidikan
menjadi tulang punggung utamanya.
Pendidikan karakter yang menjadi salah satu isu pokok
kebijakan pendidikan nasional bukanlah hal yang sama sekali baru dalam
konteks pendidikan Islam. Sebagai model pendidikan berbasis agama,
pendidikan Islam sudah sejak dulu berorientasi pada pengembangan manusia
seutuhnya (insan kamil) dengan memberi penekanan yang sangat kuat pada
pembangunan karakter peserta didik. Kejujuran, kemandirian,
kewirausahaan, dan cinta tanah air adalah nilai-nilai karakter yang
dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan Islam seperti Madrasah dan
Pondok Pesantren sejak era prakemerdekaan.
Kini, di bawah naungan Kementerian Agama, pendidikan
Islam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai ajaran Islam dengan
perkembangan kebutuhan dan tantangan masyarakat Indonesia kontemporer.
Sejalan dengan agenda pembangunan nasional, pendidikan Islam di
Indonesia dewasa ini mendorong pengarusutamaan pemahaman, penghayatan,
dan pengamalan nilai-nilai ajaran Islam seperti antara lain perdamaian,
toleransi, kejujuran, patriotisme, dan kemandirian. Nilai-nilai
pendidikan Islam tersebut kompatibel dengan berbagai agenda pembangunan
nasional seperti pemberantasan korupsi, pembangunan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang harmonis, dan peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.
Selain melalui peningkatan kualitas kurikulum dan
prasarana/sarana pendidikan, kebijakan untuk meningkatkan mutu,
relevansi, dan daya saing pendidikan Islam juga diimplementasikan
melalui peningkatan kompetensi profesional guru dan dosen pada
satuan-satuan pendidikan Islam. Salah satu aspek kompetensi yang
mendapat perhatian besar dari Kementerian Agama ialah kompetensi guru
dan dosen baik dalam penguasaan materi yang diajarkan maupun sebagai
tauladan (role model) dalam proses pembelajaran. Di masa depan, guru dan
dosen di lingkungan pendidikan Islam diharapkan memiliki kemampuan
dalam mengintegrasikan nilai-nilai karakter yang hendak dikembangkan ke
dalam materi-materi berbagai pelajaran yang spesifik. Fokus pada
peningkatan kompetensi guru dan dosen ini adalah implementasi dari visi
pendidikan Islam yang mengintegrasikan dimensi intelektual dengan
dimensi emosional dan moral-spiritual.
Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Islam
Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Islam harus
dilihat sebagai sebuah upaya strategis Kementerian Agama untuk
menggalang kerjasama yang luas dengan berbagai pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan Islam. Pemberian penghargaan
kepada berbagai unsur pemangku kepentingan yang berdedikasi diharapkan
dapat mengembangkan kesalingpemahaman para pemangku kepentingan tentang
relevansi kebijakan pendidikan Islam dengan agenda pembangunan nasional.
Sebagai salah satu unsur pemangku kepentingan yang
menerima penghargaan, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota
menempati posisi yang sangat strategis dalam meningkatkan mutu,
relevansi, dan daya saing pendidikan Islam. Posisi strategis Pemerintah
Daerah erat kaitannya dengan kebijakan desentralisasi pendidikan dan
otonomi daerah sejak pemberlakuan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah junto Undang Undang Nomor 22 tahun 1999.
Politik desentralisasi telah menarik batas kewenangan yang tegas antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang tidak
didesentralisasikan dan menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal,
dan agama. Di sisi lain, pendidikan menjadi salah satu urusan yang
didesentralisasikan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Dalam
kerangka desentralisasi pendidikan, Pemerintah Daerah mengemban tanggung
jawab dalam perencanaan, pengelolaan, dan pembiayaan pembangunan
pendidikan, termasuk penyediaan gaji pendidik dan pembangunan prasarana
dan sarana pendidikan pada tingkat dasar dan menengah.
Secara de jure, satuan-satuan pendidikan Islam
seperti Madrasah dan Pondok Pesantren termasuk dalam urusan agama yang
kewenangannya tidak didesentralisasikan. Salah satu konsekuensinya ialah
bahwa pembiayaan Madrasah dan Pondok Pesantren sepenuhnya masih menjadi
tanggung jawab Kementerian Agama. Di sisi lain, secara de facto,
Madrasah dan Pondok Pesantren merupakan satuan pendidikan yang,
sebagaimana sekolah-sekolah yang bernaung di bawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, memiliki kontribusi yang signifikan dalam
upaya-upaya pencerdasan masyarakat dan pengembangan SDM pada
umumnya. Tak bisa dipungkiri pula keberadaan satuan-satuan pendidikan
Islam yang tersebar hingga ke berbagai wilayah pelosok di Tanah Air
memberikan sumbangsih yang besar terhadap peningkatan kualitas SDM di
berbagai daerah. Tanpa pemahaman yang bijaksana dan political will dari
para pemangku kebijakan Pemerintah Daerah, politik desentralisasi
pendidikan berpotensi menimbulkan diskriminasi kebijakan pembangunan
pendidikan terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam yang bernaung di
bawah Kementerian Agama.
Dalam konstelasi ini, pemberian Penghargaan Amal
Bhakti Bidang Pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah pendekatan
persuasif untuk membangun kesadaran bersama tentang posisi pendidikan
Islam sebagai aset pembangunan nasional. Tuntutan agar pendidikan Islam
meningkatkan kontribusi dalam pengembangan SDM di
berbagai wilayah hanya dapat dipenuhi jika terbangun kerjasama yang
bersifat sinergis antara pemangku kebijakan pada tingkat pusat dan
daerah. Sinergi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dapat direalisasikan jika terdapat kesamaan tentang visi pembangunan dan
peran pendidikan Islam dalam mendorong kemajuan daerah.
Sesungguhnya, kebijakan desentralisasi pendidikan
tidak menutup ruang sama sekali bagi Pemerintah Daerah untuk
berkontribusi dalam upaya-upaya memajukan pendidikan Islam. Pemerintah
Daerah terbuka untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif kebijakan yang
mendorong kemajuan pendidikan Islam dengan tetap memperhatikan
rambu-rambu kebijakan yang diatur dalam kerangka desentralisasi
pendidikan. Inisiatif-inisiatif kebijakan dimaksud mencakup
pengarusutamaan suasana kehidupan sosial-keagamaan yang kondusif bagi
perkembangan pendidikan Islam melalui regulasi daerah dan
penyelenggaraan kegiatan bernuansa keagamaan, menjadikan guru dan tenaga
kependidikan pada satuan-satuan pendidikan Islam sebagai kelompok
sasaran (target group) dalam program-program peningkatan kapasitas,
memberikan bantuan peningkatan kesejahteraan guru dan tenaga
kependidikan pada satuan-satuan pendidikan Islam, dan memberikan bantuan
dalam rangka penyediaan dan peningkatan kualitas prasarana dan sarana
pendidikan Islam seperti unit sekolah, ruang belajar, peralatan
penunjang pendidikan seperti buku, alat peraga, komputer, dan
sebagainya. Berbagai inisiatif kebijakan Pemerintah Daerah yang
mendukung pembangunan pendidikan Islam berdampak secara nyata bukan
hanya pada kemajuan pendidikan Islam, tetapi juga kualitas sumber daya
manusia di wilayah tersebut.
Kementerian Agama menyadari bahwa harapan masyarakat
agar pendidikan Islam meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan
nasional hanya dapat terwujud melalui kerjasama kolektif dari berbagai
pihak. Koordinasi yang kuat antara aparat Kementerian Agama pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota menjadi instrumen utama dalam merumuskan
titik temu kebijakan antara Kementerian Agama sebagai penanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan Islam dan Pemerintah Daerah sebagai
penanggung jawab pembangunan daerah. Pada titik ini, Penghargaan Amal
Bhakti Bidang Pendidikan Islam adalah langkah strategis untuk memperkuat
koordinasi dengan jajaran pengambil kebijakan di lingkungan Pemerintah
Daerah. Secara sekaligus, penghargaan ini juga merupakan bentuk
apresiasi Kementerian Agama kepada berbagai pemangku kepentingan yang
telah mengemban tanggung jawab bersama dalam memajukan pendidikan Islam.
(Saiful Maarif. Tulisan ini sebagaimana
diterbitkan Harian Republika 16 Desember 2014 dalam rangka Apresiasi
Pendidikan Islam 2014).