Halaman
Sabtu, 28 Mei 2011
Sudah menjadi kebiasaan bahwa hari-hari terakhir di Bulan Sya’ban selalu dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk berziarah, baik ke makam anggota keluarga yang telah mendahului, maupun ke makam ulama dan para wali Allah. Suasana tersebut juga dirasakan di Kota Palembang, terlebih dengan digelarnya Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam
Ziarah Kubra adalah tradisi turun temurun yang diwariskan oleh para salafus sholeh, baik dari kaum alawiyyin maupun para muhibbin di Kota Palembang. Selain untuk mengamalkan anjuran Rasulullah s.a.w. yaitu untuk mengingat kematian, ziarah kubra ini juga bertujuan untuk mendoakan para salafus sholeh serta mengharap keberkahan dari mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah s.w.t.
Sebagai acara pembuka adalah Haul Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Hamid. Habib Abdullah bin Idrus adalah salah satu tokoh kebanggaan masyarakat Palembang, semasa hidupnya ia mempunyai kedudukan yang tinggi karena ilmu dan akhlaknya yang mulia, itu terjadi dimanapun ia berada, bahkan di Hadhramaut sekalipun ia mendapatkan penghormatan yang lebih dari para habaib.
Didalam kitab Tuhfatu Al-Ahbab fi Manaqib Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Idrus bin Shahab disebutkan bahwa setiap kali Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Seiwun datang ke kota Tarim, beliau selalu memuliakan dan mengutamakan Habib Abdullah untuk menjadi imam shalat baik di majlis umum maupun khusus. “Aku melihat semua hati manusia mencintainya dan tidak ada satupun yang memusuhinya”, katanya. Habib Abdullah adalah ayah dari Habib Alwi Qolbu Tarim, Hadramaut.
Di luar, puluhan pembawa bendera dan umbul-umbul serta grup marawis yang didominasi oleh anak-anak dan pemuda mengatur barisan serta melakukan persiapan untuk memandu peziarah selama perjalanan. Demikian pula Laskar Kesultanan Palembang Darussalam yang siap siaga memayungi para habib dan tamu kehormatan dengan payung kesultanan.
SYEIKH ABUBAKAR
Habib Pangeran Syarif Ali adalah seorang waliyullah yang ‘alim dan berwibawa, sehingga ia disegani oleh banyak orang. Syarif Ali dilahirkan di Palembang pada tahun 1795 M dari seorang ibu yang bernama Syarifah Nur binti Ibrahim bin Zain bin Yahya. Adapun ayahnya Habib Abubakar dilahirkan di kota Inat, Hadramaut. Habib Abubakar datang ke kota Palembang bersama ayahnya yaitu Habib Sholeh bin Ali sekitar tahun 1755 diakhir masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Setelah itu Habib Sholeh kembali ke Hadramaut dan meninggal di kota kelahirannya Inat.
Setelah Ziarah Ke Makam Habib Pangeran Syarif Ali,Para Arak-arakan Menuju :
PEMAKAMAN KESULTANAN
KAWAH TENGKUREP
Pemakaman ini dibangun pada tahun 1728 M oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758 M), seorang pemimpin yang adil sekaligus ulama yang hafal Al-Qur’an. Didalam pemerintahannya, Sultan Mahmud Badaruddin I banyak mengadakan musyawarah terutama dengan para habib, iapun memiliki guru-guru agama dari kalangan habaib, bahkan hampir semua putrinya dinikahkan dengan habaib.
Walaupun Hari Sudah Siang,Baik Hujan Maupun Panas Terik Matahari,Arak-arakan Masih Bersemangat Untuk Menuju :
PEMAKAMAN KESULTANAN DAN AULIYA’
KAMBANG KOCI
Konon, pada tahun 1151 H / 1735 M, Sultan Mahmud Badaruddin I mewakafkan sebidang tanah yang cukup luas untuk pemakaman anak cucu serta menantunya. Tanah pemakaman tersebut dinamakan Kambang Koci yang berasal dari kata-kata kambang (kolam) dan sekoci (perahu), karena jauh sebelumnya tempat itu merupakan tempat pencucian perahu.
Dalam sejarahnya, areal pemakaman ini telah beberapa kali berusaha direbut oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan. Bermula pada masa pendudukan Belanda sekitar tahun 1913 M, melihat posisinya yang begitu strategis terletak di tepi Sungai Musi, di kawasan ini dibangun Pelabuhan Boom Baru, dan berselang 11 tahun kemudian, Pihak Belanda berusaha mengambil areal pemakaman ini, namun pihak ahli waris mempertahankannya sehingga sampailah pada suatu pengadilan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan dimenangkan oleh pihak ahli waris. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang, upaya-upaya perebutan areal pemakaman tersebut masih terjadi namun tetap tidak berhasil.
Hampir keseluruhan keturunan Alawiyyin yang tinggal di Palembang memiliki silsilah bersambung dengan para habib yang dimakamkan di pemakaman ini, paling tidak silsilah dari sebelah ibu. Beberapa penghulu habaib yang dimakamkan disini antara lain Al-‘Arif Billah Al-Habib Syech bin Ahmad bin Syahab, seorang ulama besar yang dianugerahi tanah yang luas oleh Sultan Mahmud Badaruddin I. Tanah tersebut antara lain ia wakafkan sebagai tanah pemakaman kaum alawiyyin Palembang serta tanah wakaf masjid Daarul Muttaqien. Al-‘Arif Billah Al-Habib Ibrahim bin Zein bin Yahya (w.1790 M), seorang ulama besar yang menguasai Ilmu Fiqh, beliau adalah menantu Sultan Mahmud Badaruddin I yang beristerikan Raden Ayu Aisyah binti Sultan Mahmud Badaruddin I. Al-‘Arif Billah Al-Habib Alwi bin Ahmad Al-Kaaf, seorang wali Quthb, diceritakan bahwa pernah suatu kali saat ayahnya melakukan pelayaran ke Singapura dengan sebuah kapal. Di dalam perjalanan, kapal tersebut mengalami kebocoran, ketika akan diperbaiki ternyata kapal tersebut telah ditambal dari luar dengan sebuah sandal yang menutup rapat kebocoran tersebut. Setelah sandal tersebut diambil dan dihadapkan kepada Habib Ahmad, beliau mengenali bahwa sandal tersebut adalah milik anaknya, Habib Alwi. Setibanya di Palembang, didapati Habib Alwi tengah menunggu ayahnya dengan mengenakan sebelah sandal seraya meminta sandal yang satunya lagi dari ayahnya. Tatkala Habib Alwi wafat, datanglah surat dari Kampung Al-Hajrain, Hadhramaut (setelah 6 bulan perjalanan laut dari Hadhramaut ke Palembang) yang isinya menanyakan siapakah waliyullah di Palembang yang wafat sehingga di Kota Tarim, Hadhramaut terjadi gempa.
Banyaknya para wali yang dimakamkan disini membuat para peziarah selalu menyempatkan diri untuk singgah disini. Beberapa ulama besar yang pernah berziarah disini adalah, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor (Bondowoso), Habib Muhammad bin Husin Al-Idrus (Surabaya), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Jakarta), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husin Al-Atthos (Bungur), Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul), Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), Habib Umar bin Hafizh BSA dan Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri (Hadhramaut-Yaman).
Mengingat banyaknya waliyullah yang dimakamkan di Kambang Koci serta di beberapa pemakaman lainnya di Palembang, maka banyak pemuka habaib dari Hadhramaut menyebut Kambang Koci sebagai Zanbal (pemakaman para wali di Kota Tarim, Hadhramaut)-nya Palembang dan Kota Palembang sendiri sebagai Hadramaut Tsani alias Hadramaut Kedua.
Kejayaan Sriwijaya di Palembang
Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang
JAKARTA- Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan terbesar di Indonesia setelah Majapahit. Palembang, dahulu merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum pindah ke Jambi.
Bukit Siguntang, di bagian barat Kota Palembang, hingga sekarang masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat suci di masa lalu.
Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan ini merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang.
Prasasti ini menyebutkan pendirian sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibu kota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 682 Maseh. Dari situ kemudian tanggal tersebut dijadikan dasar hari lahir Kota Palembang.
Kota penghasil pempek sampai saat ini menjadi pusat wisata air dengan julukan berjuluk ‘Venice of the East’. Berikut beberapa objek wisata yang dapat Anda kunjungi di Palembang adalah berikut ini.
Benteng Kuto Besak
Fakta menarik tentang museum ini adalah menghabiskan waktu selama 17 tahun untuk membangunnya, dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pada 21 Februari 1797. Ide pembangunan benteng ini dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Benteng ini memiliki panjang 288,75 m, lebar 183,75 m, tinggi 9,99 m dan tebal 1,99 m. Terdapat pintu masuk di setiap sudut benteng ini, sisi masuk sebelah barat laut berbeda dengan ketiga sisi lainnya. Ketiga pintu masuk yang sama mereprentasikan karakteristik Benteng Kuto Besak.
Anda dapat melihat Sungai Musi dari pintu masuk utama, Lawang Kuto. Sedangkan pintu masuk di belakang pintu disebut lawang Buritan. Benteng ini ialah kebanggaan masyarakat Palembang karena merupakan benteng terbesar dan satu-satunya yang terbuat dari batu sebagai saksi keberhasilan mereka melawan bangsa Eropa.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin
Museum ini dulunya merupakan Benteng Kuto Lama dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) menjadikannya istana kesultanan.Tahun 1821, istana ini diserang Kolonial Belanda dan pada 17 Oktober 1823 dihancurkan dibawah Komisaris Belanda, I.L Van Seven House sebagai balas dendam terhadap sultan yang membakar Aur rive Loji. Museum ini dibangun kembali tahun 1825 dan menjadi kantor perwakilan pemerintahan pendudukan Belanda. Tahun 1942-1945 saat ekspansi Jepang, bangunan ini dikuasai oleh tentara Jepang dan diserahkan kepada masyarakat Palembang setelah kemerdekaan Indonesia 1945.
Pada tahun 1949, Museum Sultan Mahmud Badaruddin direnovasi dan beralih fungsi sebagai Toritorium Sriwijaya II dan digunakan sebagai satuan pasukan tentara utama Sriwijaya IV. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim Arkeologi Nasional tahun 1988, fondasi batu bata Kuto Lama ditemukan di bawah kayu yang sudah hancur.
Kantor Menara Air
Bangunan ini didirikan tahun 1982 dan sebelumnya digunakan sebagai kantor Syuco pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 kemudian digunakan sebagai balai kota hingga 1956. Bangunan ini menyediakan persediaan air untuk kantor umum. Tahun 1963 Kantor Menara Air berubah menjadi Kantor Pusat Pemerintahan Palembang.
Jembatan Ampera
Dibangun di atas Sungai Musi, jembatan ini memiliki panjang 1.777 m, lebar 22 m, dan tinggi 11,50 m dengan bantuan dana Pemerintahan Jepang masa perintahan Soekarno. Dibangun sejak April 1962 dan selesai tahun 1964. Sebelumnya dinamai Jembatan Musi lalu berubah menjadi Jembatan Ampera. Kata AMPERA singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Sebelum tahun 1970, bagian utama Jembatan Ampera dapat dinaiki dan dilewati kapal besar dengan ketinggian maksimum 44,50 m. Saat ini, untuk alasan pemeliharaan kapal tidak diizinkan menyebrang jembatan ini.
Rumah Tradisional Limas
Dibangun di sepanjang tepi sungai dan menghadap ke air, hal ini menunjukan bahwa kegiatan rumah tangga sehari-hari dilakukan di sini. Rumah-rumah kayu yang dihiasi biasanya lebarnya 15-20 m, bingkai jendela sampai panel ventilasi diukir dengan detail.
Sejarah Kabupaten OKI
Era penjajahan Belanda wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Sumatera Selatan dan termasuk dalam Sub Keresidenan (Afdeeling) Palembang dan Tanah Datar dengan Ibukota Palembang. Afdeeling ini dibagi dalam beberapa onder afdeeling, dan wilayah Kabupaten OKI meliputi wilayah onder afdeeling Komering Ilir dan onder afdeeling Ogan Ilir.