Halaman

Sabtu, 28 Mei 2011

kaligrafi


Sudah menjadi kebiasaan bahwa hari-hari terakhir di Bulan Sya’ban selalu dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk berziarah, baik ke makam anggota keluarga yang telah mendahului, maupun ke makam ulama dan para wali Allah. Suasana tersebut juga dirasakan di Kota Palembang, terlebih dengan digelarnya Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam

Ziarah Kubra adalah tradisi turun temurun yang diwariskan oleh para salafus sholeh, baik dari kaum alawiyyin maupun para muhibbin di Kota Palembang. Selain untuk mengamalkan anjuran Rasulullah s.a.w. yaitu untuk mengingat kematian, ziarah kubra ini juga bertujuan untuk mendoakan para salafus sholeh serta mengharap keberkahan dari mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah s.w.t.


Sebagai acara pembuka adalah Haul Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Hamid. Habib Abdullah bin Idrus adalah salah satu tokoh kebanggaan masyarakat Palembang, semasa hidupnya ia mempunyai kedudukan yang tinggi karena ilmu dan akhlaknya yang mulia, itu terjadi dimanapun ia berada, bahkan di Hadhramaut sekalipun ia mendapatkan penghormatan yang lebih dari para habaib.


Didalam kitab Tuhfatu Al-Ahbab fi Manaqib Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Idrus bin Shahab disebutkan bahwa setiap kali Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Seiwun datang ke kota Tarim, beliau selalu memuliakan dan mengutamakan Habib Abdullah untuk menjadi imam shalat baik di majlis umum maupun khusus. “Aku melihat semua hati manusia mencintainya dan tidak ada satupun yang memusuhinya”, katanya. Habib Abdullah adalah ayah dari Habib Alwi Qolbu Tarim, Hadramaut.


Sedangkan Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Bin Hamid merupakan seorang habib yang mulia, ia banyak menimba ilmu dari para habib baik di Palembang maupun dari Hadramaut, diantaranya Habib Abdullah bin Idrus bin Shahab. Murid-muridnya antara lain putranya sendiri Habib Ahmad, Habib Muhammad bin Hamid bin Syech Abubakar dan Habib Ahmad bin Zein bin Shahab.

Haul diadakan di rumah panggung peninggalan Habib Abdullah bin Idrus Shahab dan Habib Abdurrahman Al-Bin Hamid di perkampungan Alawiyyin Sungai Bayas, Kuto Batu Palembang. Selain para ulama dan sesepuh kota Palembang, hadir juga beberapa ulama dan puluhan tamu dari luar kota dan luar negeri, diantaranya Habib Umar bin Abdurrahman Al-Jufri (Madinah), Ustadz Abul Aswad Jumadil Kubro (Malaysia) dan Habib Hamid Naqib BSA (Bekasi).
Di luar, puluhan pembawa bendera dan umbul-umbul serta grup marawis yang didominasi oleh anak-anak dan pemuda mengatur barisan serta melakukan persiapan untuk memandu peziarah selama perjalanan. Demikian pula Laskar Kesultanan Palembang Darussalam yang siap siaga memayungi para habib dan tamu kehormatan dengan payung kesultanan.

Tiba saatnya, rombongan yang terdiri dari 5 (lima) ribuan peziarah bergerak menuju ke Pemakaman Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar, di Kelurahan 5 Ilir Boom Baru. Tak pelak, arak-arakan massa ini segera menjadi pusat perhatian. Kemacetan pun tak dapat dihindari, namun berkat kesigapan Anggota Brimob dan Satlantas yang turut mendukung acara ini, semuanya dapat diatasi dengan segera. Grup marawis dengan lincah membunyikan alat musiknya. Demikian pula shalawat dan qasidah pun tak henti-hentinya dilantunkan oleh munsyid demi menambah syiar Islam dalam perjalanan tersebut. Di pemakaman Pangeran Syarif Ali, acara diisi dengan salam ziarah dan dzikir singkat, yang dipimpin oleh Habib Umar bin Abdurrahman Al-Jufri
PEMAKAMAN AL-HABIB PANGERAN SYARIF ALI
SYEIKH ABUBAKAR
Habib Pangeran Syarif Ali adalah seorang waliyullah yang ‘alim dan berwibawa, sehingga ia disegani oleh banyak orang. Syarif Ali dilahirkan di Palembang pada tahun 1795 M dari seorang ibu yang bernama Syarifah Nur binti Ibrahim bin Zain bin Yahya. Adapun ayahnya Habib Abubakar dilahirkan di kota Inat, Hadramaut. Habib Abubakar datang ke kota Palembang bersama ayahnya yaitu Habib Sholeh bin Ali sekitar tahun 1755 diakhir masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Setelah itu Habib Sholeh kembali ke Hadramaut dan meninggal di kota kelahirannya Inat.


Dari pergaulan yang luas dalam hubungannya dengan para pembesar kesultanan, Syarif Ali memperoleh pengalaman diplomatik. Karena itu ia tampil sebagai seorang yang berwibawa dan mendapat kepercayaan Sultan. Pernah suatu ketika Syarif Ali melakukan misi khusus ke Kalimantan untuk keperluan Sultan Husin Dhiauddin dan misi tersebut berhasil dengan baik. Oleh karena itu Sultan menikahkan beliau dengan salah seorang putrinya yang bernama Laila dan dari perkawinan inilah Syarif Ali diberi gelar Pangeran. Meskipun dalam usia yang relatif muda, ia sudah dipercaya untuk menduduki jabatan bendahara kesultanan. Pangeran Syarif Ali wafat pada tanggal 27 Muharram 1295 H / 1877 M.

Selain makam Habib Pangeran Syarif Ali dan keluarganya, disini juga dimakamkan Habib Umar bin Alwi bin Zain Shahab yang merupakan ipar Pangeran Syarif Ali, makamnya tepat disebelah makam Pangeran Syarif Ali. Habib Umar adalah seorang ulama yang menyebarkan Islam ke pelosok-pelosok terpencil, beberapa suku adat di pedalaman Palembang masuk Islam berkat beliau, terutama di pesisir sungai Musi, antara lain Pegayut, Pemulutan, Muara Batun, Lingkis, Ulak Temago, Suko Darmo, bahkan sampai saat ini banyak keturunannya tinggal di daerah Bungin Kiaji yang lebih dikenal dengan dengan Desa Pegayut.
Setelah Ziarah Ke Makam Habib Pangeran Syarif Ali,Para Arak-arakan Menuju :

PEMAKAMAN KESULTANAN
KAWAH TENGKUREP
Pemakaman ini dibangun pada tahun 1728 M oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758 M), seorang pemimpin yang adil sekaligus ulama yang hafal Al-Qur’an. Didalam pemerintahannya, Sultan Mahmud Badaruddin I banyak mengadakan musyawarah terutama dengan para habib, iapun memiliki guru-guru agama dari kalangan habaib, bahkan hampir semua putrinya dinikahkan dengan habaib.

Adapun Imam Kubur - istilah untuk penasehat agama kesultanan yang biasanya dimakamkan bersebelahan dengan para sultan - dari Sultan Mahmud Badaruddin I yaitu Al-Habib Abdullah bin Idrus Al-Idrus. Habaib lainnya yang dimakamkan di Pemakaman Kawah Tengkurep ini antara lain Al-Habib Abdurrahman bin Husin Al-Idrus (Maula Taqooh) yang merupakan Imam Kubur Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1776 M), Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Haddad (Datuk Murni) yang merupakan Imam Kubur Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803 M), Al-Habib Muhammad bin Yusuf Al-Angkawi dan Al-Habib Agil bin Alwi Al-Madihij (Penghulu Al-Madihij Palembang).

Disini juga dimakamkan seorang waliyah bernama Hababah Sidah binti Abdullah bin Agil Al-Madihij. Dikisahkan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasulullah SAW secara yaqozoh (dalam keadaan sadar) dengan iringan tetabuhan rebana dan aroma harum wewangian, sehingga seluruh perkampungan disekitar rumahnya pun dapat mendengar suara tabuhan rebana tersebut. Hingga kini rumah tempat tinggalnya masih ada dan terawat dengan baik.
Walaupun Hari Sudah Siang,Baik Hujan Maupun Panas Terik Matahari,Arak-arakan Masih Bersemangat Untuk Menuju :

PEMAKAMAN KESULTANAN DAN AULIYA’
KAMBANG KOCI
Konon, pada tahun 1151 H / 1735 M, Sultan Mahmud Badaruddin I mewakafkan sebidang tanah yang cukup luas untuk pemakaman anak cucu serta menantunya. Tanah pemakaman tersebut dinamakan Kambang Koci yang berasal dari kata-kata kambang (kolam) dan sekoci (perahu), karena jauh sebelumnya tempat itu merupakan tempat pencucian perahu.
Dalam sejarahnya, areal pemakaman ini telah beberapa kali berusaha direbut oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan. Bermula pada masa pendudukan Belanda sekitar tahun 1913 M, melihat posisinya yang begitu strategis terletak di tepi Sungai Musi, di kawasan ini dibangun Pelabuhan Boom Baru, dan berselang 11 tahun kemudian, Pihak Belanda berusaha mengambil areal pemakaman ini, namun pihak ahli waris mempertahankannya sehingga sampailah pada suatu pengadilan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan dimenangkan oleh pihak ahli waris. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang, upaya-upaya perebutan areal pemakaman tersebut masih terjadi namun tetap tidak berhasil.


Pada 16 Nopember 1974, Pemakaman Kambang Koci ini diresmikan menjadi pemakaman anak, menantu, serta cucu-cucu Sultan Mahmud Badaruddin. Berselang setahun kemudian, terjadi persengketaan dengan pihak pelabuhan Boom Baru sehingga terjadi pembagian luas areal pemakaman ini dari 5000 meter persegi dibagi 2/3 untuk pihak pelabuhan dan 1/3 untuk ahli waris, sehingga saat ini keseluruhan luas area Kambang Koci ini tinggal 1400 meter persegi. Pada tahun 1999, upaya-upaya pihak pelabuhan terus dilakukan untuk mendapatkan sisa areal pemakaman yang ada, namun tetap tidak berhasil.

Hampir keseluruhan keturunan Alawiyyin yang tinggal di Palembang memiliki silsilah bersambung dengan para habib yang dimakamkan di pemakaman ini, paling tidak silsilah dari sebelah ibu. Beberapa penghulu habaib yang dimakamkan disini antara lain Al-‘Arif Billah Al-Habib Syech bin Ahmad bin Syahab, seorang ulama besar yang dianugerahi tanah yang luas oleh Sultan Mahmud Badaruddin I. Tanah tersebut antara lain ia wakafkan sebagai tanah pemakaman kaum alawiyyin Palembang serta tanah wakaf masjid Daarul Muttaqien. Al-‘Arif Billah Al-Habib Ibrahim bin Zein bin Yahya (w.1790 M), seorang ulama besar yang menguasai Ilmu Fiqh, beliau adalah menantu Sultan Mahmud Badaruddin I yang beristerikan Raden Ayu Aisyah binti Sultan Mahmud Badaruddin I. Al-‘Arif Billah Al-Habib Alwi bin Ahmad Al-Kaaf, seorang wali Quthb, diceritakan bahwa pernah suatu kali saat ayahnya melakukan pelayaran ke Singapura dengan sebuah kapal. Di dalam perjalanan, kapal tersebut mengalami kebocoran, ketika akan diperbaiki ternyata kapal tersebut telah ditambal dari luar dengan sebuah sandal yang menutup rapat kebocoran tersebut. Setelah sandal tersebut diambil dan dihadapkan kepada Habib Ahmad, beliau mengenali bahwa sandal tersebut adalah milik anaknya, Habib Alwi. Setibanya di Palembang, didapati Habib Alwi tengah menunggu ayahnya dengan mengenakan sebelah sandal seraya meminta sandal yang satunya lagi dari ayahnya. Tatkala Habib Alwi wafat, datanglah surat dari Kampung Al-Hajrain, Hadhramaut (setelah 6 bulan perjalanan laut dari Hadhramaut ke Palembang) yang isinya menanyakan siapakah waliyullah di Palembang yang wafat sehingga di Kota Tarim, Hadhramaut terjadi gempa.
Di Kambang Koci juga dimakamkan Habib Abdullah bin Salim Al-Kaf, seorang ulama besar sekaligus pengusaha yang sukses, beliau membangun Masjid Sungai Lumpur pada tahun 1287 H yang berlokasi di 11 Ulu Palembang, dan Habib Abdullah bin Ali Al-Kaf, seorang wali mastur (tersembunyi), zurriyatnya banyak yang menjadi ulama besar yang tersebar di Tegal, Jakarta, Jeddah, dan Hadhramaut, antara lain Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Kaf (Jeddah) dan Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf (Jakarta) dengan anak-anaknya yang menjadi muballigh.
Banyaknya para wali yang dimakamkan disini membuat para peziarah selalu menyempatkan diri untuk singgah disini. Beberapa ulama besar yang pernah berziarah disini adalah, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor (Bondowoso), Habib Muhammad bin Husin Al-Idrus (Surabaya), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Jakarta), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husin Al-Atthos (Bungur), Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul), Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), Habib Umar bin Hafizh BSA dan Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri (Hadhramaut-Yaman).

Suatu ketika dalam ziarahnya, Habib Sholeh Tanggul diberitahu bahwasanya pemakaman ini akan dibongkar, mendengar hal itu ia terdiam sesaat dan berkata bahwa pembongkaran tidak akan terjadi, dikarenakan Allah SWT yang akan selalu menjaganya. Terbukti, tatkala ada usaha untuk memindahkan jenazah dari pemakaman ini dalam usaha mengambil alih areal pemakaman pada tanggal 19 Desember 1997, setelah peti-peti jenazah yang berjumlah 104 buah (dihitung berdasarkan jumlah nisan yang nampak) disiapkan di Kambang Koci, tersiarlah kabar mengenai jatuhnya pesawat Boeing 737-300 Silk Air dari Singapura di Muara Makati, Perairan Sungsang, Sumatera Selatan yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat. Yang mengherankan jumlah korban tewas yang dipastikan sebanyak peti yang disiapkan, yaitu 104 penumpang termasuk 7 awak. Mengingat keperluan yang lebih mendesak akhirnya peti-peti yang telah disiapkan tersebut tidak jadi digunakan, dan lahan pekuburan yang telah disediakan bagi jenazah Kambang Koci diisi dengan jenazah korban tewas kecelakaan pesawat tersebut.
Mengingat banyaknya waliyullah yang dimakamkan di Kambang Koci serta di beberapa pemakaman lainnya di Palembang, maka banyak pemuka habaib dari Hadhramaut menyebut Kambang Koci sebagai Zanbal (pemakaman para wali di Kota Tarim, Hadhramaut)-nya Palembang dan Kota Palembang sendiri sebagai Hadramaut Tsani alias Hadramaut Kedua.

1.Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Tempo Doeloe



Kejayaan Sriwijaya di Palembang

4vlN1ZIXBO Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang

Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang

JAKARTA- Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan terbesar di Indonesia setelah Majapahit. Palembang, dahulu merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum pindah ke Jambi.

Bukit Siguntang, di bagian barat Kota Palembang, hingga sekarang masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat suci di masa lalu.

Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan ini merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang.

Prasasti ini menyebutkan pendirian sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibu kota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 682 Maseh. Dari situ kemudian tanggal tersebut dijadikan dasar hari lahir Kota Palembang.

Kota penghasil pempek sampai saat ini menjadi pusat wisata air dengan julukan berjuluk ‘Venice of the East’. Berikut beberapa objek wisata yang dapat Anda kunjungi di Palembang adalah berikut ini.

Benteng Kuto Besak

bkb Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang

Fakta menarik tentang museum ini adalah menghabiskan waktu selama 17 tahun untuk membangunnya, dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pada 21 Februari 1797. Ide pembangunan benteng ini dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Benteng ini memiliki panjang 288,75 m, lebar 183,75 m, tinggi 9,99 m dan tebal 1,99 m. Terdapat pintu masuk di setiap sudut benteng ini, sisi masuk sebelah barat laut berbeda dengan ketiga sisi lainnya. Ketiga pintu masuk yang sama mereprentasikan karakteristik Benteng Kuto Besak.

Anda dapat melihat Sungai Musi dari pintu masuk utama, Lawang Kuto. Sedangkan pintu masuk di belakang pintu disebut lawang Buritan. Benteng ini ialah kebanggaan masyarakat Palembang karena merupakan benteng terbesar dan satu-satunya yang terbuat dari batu sebagai saksi keberhasilan mereka melawan bangsa Eropa.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin

museum+Sultan+Mahmud+Badaruddin+II Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang

Museum ini dulunya merupakan Benteng Kuto Lama dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) menjadikannya istana kesultanan.Tahun 1821, istana ini diserang Kolonial Belanda dan pada 17 Oktober 1823 dihancurkan dibawah Komisaris Belanda, I.L Van Seven House sebagai balas dendam terhadap sultan yang membakar Aur rive Loji. Museum ini dibangun kembali tahun 1825 dan menjadi kantor perwakilan pemerintahan pendudukan Belanda. Tahun 1942-1945 saat ekspansi Jepang, bangunan ini dikuasai oleh tentara Jepang dan diserahkan kepada masyarakat Palembang setelah kemerdekaan Indonesia 1945.

Pada tahun 1949, Museum Sultan Mahmud Badaruddin direnovasi dan beralih fungsi sebagai Toritorium Sriwijaya II dan digunakan sebagai satuan pasukan tentara utama Sriwijaya IV. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim Arkeologi Nasional tahun 1988, fondasi batu bata Kuto Lama ditemukan di bawah kayu yang sudah hancur.

Kantor Menara Air

menarah air palembang pub Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang

Bangunan ini didirikan tahun 1982 dan sebelumnya digunakan sebagai kantor Syuco pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 kemudian digunakan sebagai balai kota hingga 1956. Bangunan ini menyediakan persediaan air untuk kantor umum. Tahun 1963 Kantor Menara Air berubah menjadi Kantor Pusat Pemerintahan Palembang.

Jembatan Ampera

ampera+musi Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang

Dibangun di atas Sungai Musi, jembatan ini memiliki panjang 1.777 m, lebar 22 m, dan tinggi 11,50 m dengan bantuan dana Pemerintahan Jepang masa perintahan Soekarno. Dibangun sejak April 1962 dan selesai tahun 1964. Sebelumnya dinamai Jembatan Musi lalu berubah menjadi Jembatan Ampera. Kata AMPERA singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Sebelum tahun 1970, bagian utama Jembatan Ampera dapat dinaiki dan dilewati kapal besar dengan ketinggian maksimum 44,50 m. Saat ini, untuk alasan pemeliharaan kapal tidak diizinkan menyebrang jembatan ini.

Rumah Tradisional Limas

01 Mengulik Kejayaan Sriwijaya di Palembang

Dibangun di sepanjang tepi sungai dan menghadap ke air, hal ini menunjukan bahwa kegiatan rumah tangga sehari-hari dilakukan di sini. Rumah-rumah kayu yang dihiasi biasanya lebarnya 15-20 m, bingkai jendela sampai panel ventilasi diukir dengan detail.

Sejarah Kabupaten OKI


Era penjajahan Belanda wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Sumatera Selatan dan termasuk dalam Sub Keresidenan (Afdeeling) Palembang dan Tanah Datar dengan Ibukota Palembang. Afdeeling ini dibagi dalam beberapa onder afdeeling, dan wilayah Kabupaten OKI meliputi wilayah onder afdeeling Komering Ilir dan onder afdeeling Ogan Ilir.
Pada masa kemerdekaan wilayah Kabupaten OKI termasuk dalam keresidenan Palembang yang meliputi 26 marga. Kemudian menjadi bagian Propinsi Sumatera Selatan pada masa Orde Baru. Setelah marga dibubarkan, wilayah Kabupaten OKI dibagi menjadi 12 kecamatan definitif dan 6 Kecamatan perwakilan.

Sebelum tahun 2000 Kabupaten OKI memiliki 14 kecamatan definitif dan 4 kecamatan perwakilan. Keempat kecamatan perwakilan tersebut adalah Kecamatan Rantau Alai dengan Kecamatan Induk Tanjung Raja, Kecamatan Jejawi dengan Kecamatan Induk Sirah Pulau Padang, Kecamatan Pematang Panggang dengan Kecamatan Induk Mesuji dan Kecamatan Cengal dengan Kecamatan Induk Tulung Selapan.

Namun sejak tahun 2001, empat kecamatan perwakilan tersebut disahkan menjadi kecamatan definitif sehingga jumlah kecamatannya menjadi 18 dengan meliputi 434 desa dan 13 kelurahan.

Dalam perjalanannya, berdasarkan keppres no 37 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Ilir di Propinsi Sumatera Selatan, Kabupaten OKI dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Ogan Ilir. Kabupaten Ogan Ilir yang beribukota di Indralaya, wilayahnya meliputi Kecamatan Indralaya, Tanjung Raja, Tanjung Batu, Muara Kuang, Rantau Alai dan Kecamatan Pemulutan. Karena pemekaran ini, wilayah Kabupaten OKI menjadi 12 kecamatan dengan 272 desa dan 11 kelurahan.

Selanjutnya, berdasarkan perda no 5 tahun 2005, wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir kembali dimekarkan sehingga terbentuk 6 kecamatan baru, yaitu Kecamatan Pangkalan Lampam, Mesuji Makmur, Mesuji Raya, Lempuing Jaya, Teluk Gelam dan Kecamatan Pedamaran Timur. Setelah pemekaran ini Kabupaten Ogan Komering Ilir secara administratif meliputi 18 kecamatan, 12 kelurahan dan 299 desa.


GEOGRAFIS

Wilayah Kabupaten Ogan Komering ilir terletak di bagian Timur Propinsi Sumatera Selatan yaitu tepatnya antara 104o20’ dan 106o00’ Bujur Timur dan 2o30’ sampai 4o15’ Lintang Selatan, luasnya mencapai19.023,47 km2. Secara administrasi berbatasan dengan :
* Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir dan Kota Palembang di sebelah Utara;
* Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan Propinsi Lampung di sebelah Selatan;
* Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten OKU Timur di sebelah Barat, dan;
* Selat Bangka dan Laut Jawa di sebelah Timur.

Sekitar 75 persen dari luas wilayah Kabupaten OKI merupakan bentangan rawa dan 25 persennya merupakan daratan. Daerah ini dialiri oleh banyak sungai dan memiliki wilayah pantai dan laut. Wilayah pesisir Pantai Timur OKI meliputi Kecamatan Air Sugihan, Tulung Selapan, Cengal dan Kecamatan Sungai Menang. Secara fisiografi datarannya dibedakan menjadi dataran lahan basah dengan topografi rendah (lowland) dan dataran lahan kering yang dengan topografi lebih tinggi (upland). Namun demikian, pada umumnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 0-10 meter dari permukaan laut. Wilayahnya cenderung mendatar sampai miring landai dengan kemiringan antara 0-2o.

Bentang alam di kabupaten ini pada umumnya disusun oleh endapan aluvial yang bersifat lempungan liat atau lembek dan endapan gambut. Kecuali pada daerah tertinggi yaitu Bukit Gajah di Kecamatan Pampangan dimana batuan penyusun utamanya adalah batuan beku intrusi granit. Bukit ini memiliki titik ketinggian sekitar 14 meter dari permukaan laut.

Dengan topografi mendatar dan kekerasan batuan yang relatif sama, pola aliran sungai yang terbentuk di wilayah Kabupaten OKI adalah pola aliran dendritik (menyerupai pohon) yang dibentuk oleh sungai utama dan anak-anak sungai.

Sistem hidrologi yang membentuk danau di wilayah OKI pada prinsipnya termasuk ke dalam satuan geomorfik rawa, karena air yang terakumulasi di dalam cekungan tersebut pada umumnya berasal dari rawa yang berada di sekitarnya. Di Kabupaten ini dijumpai empat danau yaitu danau Deling di Kecamatan Pampangan, danau Air Nilang di Kecamatan Pedamaran, danau Teluk Gelam di Kecamatan Teluk Gelam dan danau Teloko di Kecamatan Kayuagung. Sedangkan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten OKI memiliki 3 sistem yaitu DAS Musi, DAS Bulularinding dan DAS Mesuji.

Seperti halnya daerah lain, Kabupaten OKI dipengaruhi oleh iklim tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan dengan rata-rata curah hujan 1.096 mm per tahun dan rata-rata 66 hari hujan per tahun. Pada musim hujan permukaan air meningkat atau peningkatan volume air, akibatnya dataran rendah cenderung tergenang air. Sedangkan pada musim kemarau air menyusut dan bahkan ada beberapa daerah yang mengalami kekeringan.

Dataran rendah yang mudah tergenang air disebut lebak. Pada bagian dalam lebak dimana airnya tidak pernah kering, masyarakat Kabupaten OKI menyebutnya dengan istilah Lebak Lebung. Biasanya kawasan lebak lebung ini memiliki sumber daya ikan yang besar dan potensial untuk dikembangkan


PENDUDUK

Penduduk Kabupaten Ogan Komering Ilir dari tahun ke tahun secara absolut mengalami peningkatan. Tahun 2006, penduduk Kabupaten Ogan Komering Ilir mencapai 672.192 jiwa. Penduduk laki-laki (L) tercatat sebanyak 339.548 jiwa, sedangkan penduduk perempuan (P) sebanyak 332.644 jiwa. Sedangkan pada tahun 2007 jumlah penduduk bertambah menjadi 685.296 jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,95 persen.
Meningkatnya jumlah penduduk, secara langsung akan meningkatkan kepadatan penduduk. Pada tahun 2005 kepadatannya 34,89 jiwa per kilometer persegi, pada tahun 2006 menjadi 35,33 jiwa per kilometer persegi dan pada tahun 2007 kembali meningkat menjadi 36,02 jiwa per kilometer persegi.
Kemajuan yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dilihat melalui besaran Indeks Pembangunan manusia (IPM). IPM merupakan suatu indeks komposit yang dihitung dengan mencakup tiga bidang pembangunan manusia sebagai rata-rata sederhana dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah) serta indeks standar hidup layak.

Tabel Jumlah Penduduk Kabupaten Ogan Komering Ilir,Tahun 2007
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
1. Lempuing 32.357 29.999 62.356
2. Lempuing Jaya 30.545 28.078 58.623
3. Mesuji 17.896 17.117 35.013
4. Mesuji Makmur 17.168 14.443 31.611
5. Mesuji Raya 22.896 19.944 42.840
6. Sungai Menang 24.381 21.789 46.170
7. Tulung Selapan 23.307 22.174 45.481
8. Cengal 16.280 14.344 30.624
9. Pedamaran 18.440 18.520 36.960
10. Pedamaran Timur 9.288 9.684 18.972
11. Tanjung Lubuk 16.500 17.700 34.200
12. Teluk Gelam 9.658 10.712 20.370
13. Kayu Agung 28.057 28.425 56.482
14. SP Padang 20.988 20.130 41.118
15. Jejawi 19.320 19.530 38.850
16. Pampangan 13.566 13.860 27.426
17. Pkl Lampam 11.970 13.266 25.236
18. Air Sugihan 17.736 15.228 32.964
Jumlah 350.353 334.943 685.296
sumber: Cahye Negare